img-post

gemakeadilan.com - Kebebasan berekspresi dan demokrasi dipandang memburuk pada masa  pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pola pembungkaman kritik yang disampaikan  melalui media massa maupun media sosial menjadi salah satu indikatornya. Pembungkaman media massa yang menyampaikan kritik kepada penguasa saat ini  dianggap semakin kompleks. Sebab, pembungkaman kini tidak lagi dilakukan  dengan menutup atau mencabut izin penerbitan media seperti yang telah terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru, melainkan upaya pembungkaman saat ini cenderung berupa serangan digital, misalnya doxing atau pembongkaran serta  penyebaran data pribadi. Di sisi lain, upaya sensor, persekusi, dan pemenjaraan  juga masih terjadi. Semakin kompleksnya pembungkaman media berdampak pada  kemunduran demokrasi. Contohnya, saat ahli epidemiologi dari Universitas  Indonesia (UI), Pandu Riono, menyampaikan kritik atas pengembangan obat Covid-19, akun media sosial Pandu diretas. 

Sebagai salah satu contoh, pada bulan Mei 2020, telah terjadi serangan-serangan  digital kepada mahasiswa Constitutional Law Society, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Serangan tersebut merupakan bentuk pemberhentian dan  pembubaran kepada panitia dan narasumber dalam acara studi konstitusi terkait  pemberhentian Presiden. Bahkan mereka menerima teror dalam bentuk pengiriman makanan menggunakan ojek online padahal tidak dipesan hingga didatangi dan  digedor-gedor oleh orang-orang tidak dikenal. 

Tidak lama setelahnya, kritikan pedas kepada Presiden Joko Widodo kembali disampaikan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI). Kritik  tersebut diunggah pada media sosial BEM UI melalui postingan berjudul, Jokowi: The King of Lip Service.” Postingan tersebut mendapatkan respon dari Rektorat  Universitas Indonesia yang berujung pada pemanggilan kepada setidaknya 10  mahasiswa UI. 

Adapun kronologi penyampaian kritik dan pemanggilan mahasiswa oleh Rektorat  tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • 26 Juni 2021

Akun Instagram @bemui_official mengunggah postingan yang mengandung  kritikan kepada Presiden Jokowi. Postingan tersebut berjudul, “Jokowi: The King  of Lip Service.” Kritik tersebut dihadirkan karena BEM UI menyoroti berbagai  janji Presiden Jokowi yang tidak ditepati. BEM UI juga menyebut bahwa  Presiden Jokowi sering mengobral janji. Jokowi kerap kali mengobral janji  manisnya, tetapi realitanya sering kali juga tak selaras dengan realita, seperti  rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan UU KPK, dan sejumlah janji lainnya.  Katanya begini, tetapi faktanya begitu.


  • 27 Juni 2021 

Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, merespons cepat postingan BEM UI  tersebut. Ia menulis melalui akun Twitter-nya bahwa segala aktivitas mahasiswa  UI termasuk BEM UI merupakan tanggung jawab pimpinan UI.  

Tak lama setelah itu, sejumlah mahasiswa pengurus BEM UI mendapat  panggilan oleh Direktur Kemahasiswaan UI, Tito Latif Indra. Para pengurus yang  dipanggil, di antaranya Ketua BEM UI, Wakil Ketua BEM UI, Koordinator Bidang  Sosial Politik BEM UI, Kepala Kantor Komunikasi dan Informasi BEM UI, Kepala 

Departemen Kajian Strategis BEM UI, Kepala Departemen Aksi dan  Propaganda, Ketua DPM UI, dan dua Wakil Ketua DPM UI. 

Leon Alvindra Putra selaku Ketua BEM UI mengatakan telah memenuhi  panggilan tersebut. Namun, hanya beberapa pengurus yang mewakili untuk  menghadiri panggilan tersebut karena undangannya dirasa sangat mendadak.  Dalam pertemuan tersebut, perwakilan dari BEM UI memberikan klarifikasi  terkait postingan tersebut, kemudian pihak rektorat menanyakan apakah  postingan tersebut bisa di-takedown. Leon menyatakan bahwa postingan itu  tidak bisa di-takedown karena ini merupakan bentuk integritas dari BEM UI. BEM UI bisa mempertanggungjawabkan poin-poin yang diangkat dalam kritik tersebut  berdasarkan data dan fakta. 

Armelita Lusia selaku Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi (KIP) UI,  menyampaikan bahwa cara penyampaian kritik yang dilakukan oleh BEM UI  kurang tepat. Ia berpikiran bahwa pemanggilan ini merupakan bagian dari  proses pembinaan kemahasiswaan yang ada di UI. 

Sejumlah tokoh nasional mengkritik langkah rektorat yang melakukan  pemanggilan terhadap pengurus BEM UI. Tokoh tersebut, di antaranya Fahri  Hamzah, Mardani Ali Sera, Hinca Panjaitan, dan Fadli Zon. Mardani menilai,  semua pihak tidak perlu baper. Kampus seharusnya menjadi lahan subur  demokrasi, bukan alat oligarki. 


  • 28 Juni 2021 

Leon Alvindra mengakui adanya peretasan akun media sosial kepada beberapa  pengurus BEM UI. Peretasan terjadi pada tanggal 27 dan 28 Juni 2021, di  antaranya seperti peretasan akun WhatsApp Tiara Sahfina selaku Kepala Biro  Hubungan Masyarakat BEM UI 2021, peretasan akun Telegram Naifah Uziah  selaku Koordinator Bidang Sosial Lingkungan BEM UI, serta pembatasan pada  akun Instagram Syahrul Badri selaku kepala Departemen Aksi dan Propaganda  BEM UI. Leon membagikan bukti-bukti peretasan beberapa pengurus BEM UI  tersebut melalui akun Twitter-nya. 


  • 29 Juni 2021

Presiden Jokowi menanggapi kritikan BEM UI dalam video berdurasi 2 menit 1  detik yang diunggah dalam kanal YouTube Sekretariat Presiden. Sambil  tersenyum, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa kritik adalah wajar di negara  demokrasi. Mengingat Presiden Jokowi sebelumnya kerap kali disebut klemar klemer, plonga-plongo, dan otoriter. Presiden Jokowi berpikiran bahwa ini bentuk  ekspresi mahasiswa dan ini negara demokrasi, jadi kritik itu boleh-boleh saja. 


Hingga saat ini, Aliansi BEM di seluruh Indonesia beserta elemen-elemen  masyarakat ramai menggalang aksi solidaritas terhadap BEM UI. Tercatat,  setidaknya terdapat 44 pihak yang tergabung dalam Solidaritas Pembungkaman  Ruang-Ruang Demokrasi Kampus UI. Solidaritas tersebut sepakat menyatakan  sikap untuk mengecam segala bentuk pembungkaman hingga mendesak  pemerintah untuk menjamin kebebasan berpendapat.  

Penulis : Fikri Achmad Hasan 

Editor : Nilam Helga 

(Sumber gambar: Instagram @bemui_official)