img-post

Droil ne done, pluis que soit demaunde

Hukum memberi tidak lebih dari yang dibutuhkan

Adagium tersebut hendak menunjukkan bahwa sejatinya hukum hadir untuk meramu kebutuhan dan menjawab persoalan yang terjadi di masyarakat. Namun, dalam konteks ini, hukum tidak boleh melampaui batas yang telah ditentukan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Hal tersebut akan sangat menarik ketika dikaitkan dalam membahas problematika yuridis kewenangan jaksa penuntut umum dalam melakukan peninjauan kembali. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kejaksaan Negeri Karawang yang diwakilkan oleh Rizky Ika Pratiwi, S. H., M. H. dinyatakan bahwa mekanisme peninjauan kembali adalah salah satu proses dalam sistem peradilan di Indonesia berupa upaya hukum luar biasa yang diatur dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pengaturan mengenai peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 KUHAP. Pada ayat (1)-nya dinyatakan bahwa peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau putusan lepas. Dari pasal tersebut tampak bahwa subjek dari peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya dan objek perkara dari peninjauan kembali adalah putusan yang mengandung pemidanaan. Berdasarkan pengaturan tersebut, timbul sebuah pertanyaan berkaitan dengan topik tulisan ini mengenai dasar hukum pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum.

Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum sehingga segala jenis aktivitas kehidupan masyarakat di Indonesia, baik berbangsa dan bernegara, wajib memiliki landasan yuridis yang tegas dan jelas guna menjamin kepastian hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum sejatinya belum diatur secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan. Namun, dasar hukum tindakan jaksa penuntut umum tersebut disandarkan oleh beberapa putusan Mahkamah Agung yang membolehkan jaksa penuntut umum melakukan peninjauan kembali sehingga menjadi suatu yurisprudensi yang terus digunakan jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa putusan seperti, Putusan MA tanggal 25 Oktober 1996 No. 55 PK/Pid/1996 dengan terpidana Mochtar Pakpahan, Putusan MA tanggal 25 Januari 2008 No. 109 PK/Pid/2007 dengan terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto, dan Putusan MA tanggal 8 Juni 2009 No. 7 PK/Pid/2009 dengan terpidana Syahril Sabirin.

Adapun legal standing yang menjadi dasar jaksa penuntut umum dalam mengajukan peninjauan kembali dalam putusan tersebut berlandaskan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti Pasal 1 angka 12 jo. 263 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa putusan yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah tetapi tidak diikuti pemidanaan dapat diajukan peninjauan kembali oleh pihak yang berkepentingan yang dalam hal ini jaksa penuntut umum. Selain itu, kewenangan yuridis tersebut juga diakomodasi dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan dalam tafsiran demikian mencakup jaksa penuntut umum. Kedua pengaturan tersebut memang belum mengatur secara eksplisit jaksa penuntut umum, tetapi dalam perkembangan selanjutnya di dalam Pasal 30 C huruf h  Undang-Undang Nomor 11 tahun 2021 Perubahan Atas UU 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia secara jelas dan tegas memberikan kewenangan kepada jaksa untuk melakukan peninjauan kembali.

Namun, pengaturan dalam Pasal 30 C huruf h Undang-Undang Nomor 11 tahun 2021 Perubahan Atas UU 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga putusan tersebut menutup pintu masuk jaksa penuntut umum dalam mengajukan peninjauan kembali. Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah beranjak dari latar belakang lahirnya peninjauan kembali yang dilandasi oleh filosofi pengembalian hak dan keadilan seseorang yang meyakini dirinya mendapat perlakuan yang tidak berkeadilan yang dilakukan oleh negara berdasarkan putusan hakim (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016). Oleh sebab itu peninjauan kembali hadir semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya dan hal tersebut merupakan esensi dari peninjauan kembali. Selain itu, putusan tersebut menguraikan bahwa ketika peninjauan kembali diajukan oleh jaksa penuntut umum, maka terjadi dua pelanggaran prinsip baik dari segi subjek yang membatasi peninjauan kembali hanya terhadap terpidana atau ahli waris dan dari segi objek yang membatasi objek perkara hanya terhadap putusan yang mengandung pemidanaan (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VI/2008).

Berdasarkan uraian sebelumnya, tentu telah terjadi sebuah pertentangan yang cukup krusial mengenai kewenangan yuridis jaksa penuntut umum dalam pengajuan peninjauan kembali. Secara filosofis kehadiran peninjauan kembali hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang digunakan semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya dan hal tersebut didukung oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Namun disisi lain secara praktik penegakan hukum, lahirnya putusan-putusan Mahkamah Agung yang membolehkan jaksa penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali menjadi dasar yurisprudensi para jaksa penuntut umum mengajukan peninjauan kembali. Pertentangan tersebut tentunya harus diselesaikan dengan segera supaya tidak mengancam kepastian hukum yang sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Penyelesaian pertentangan tersebut dapat dilakukan salah satunya melalui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar hukum penegakan sistem peradilan pidana di Indonesia. Dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut perlu memberikan aturan yang tegas mengenai kewenangan pengajuan peninjauan kembali agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan menjamin hak-hak asasi manusia sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Penulis: Khaiqal Pranata, Tiara Shifa Handayani