img-post
Sumber gambar: jpnn.com (karikatur oleh Ashady) 

gemakeadilan.com-

Beban pemerintah terlalu banyak. 

Terlalu banyak sampai-sampai pedagang bubur pun dijatuhi pidana denda seharga omset satu bulan. 

Apa kabar bila mengurusi retail makanan multinasional?

Tidak perlu, sebab sumber daya hanya cukup untuk mengurusi pedagang-pedagang kecil itu. 

Pandemi Covid-19 telah mengubah kehidupan manusia dalam berbagai sektor selama setahun belakangan. Dalam kurun waktu yang tidak singkat tersebut, pemerintah telah berupaya maksimal untuk meminimalisir dampak negatif bagi seluruh warga negara. Hal ini dapat dilihat melalui terbitnya berbagai kebijakan yang rumit, berbelit-belit, dan tidak tersosialisasikan dengan baik. Pemerintah sampai tidak bisa lagi mengedepankan asas kemanfaatan dan keadilan dalam hukum akibat urusan yang begitu menyita anggaran negara ini. Anggaran yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kunjungan kerja dan studi banding ke luar negeri, kini harus dibatasi dan dipindahkan untuk hal lain, yaitu penganggulangan pandemi. Tak ada lagi jalan-jalan untuk para wakil rakyat dan dewan menteri yang terhormat. Pun demikian, sebesar apapun pengorbanan yang telah dilakukan oleh pemerintah, angka kasus positif Covid-19 tidak kunjung menurun. Bahkan, kerapkali angka positif dengan rekor tertinggi terpecahkan tiap hari. Latar belakang inilah yang mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan PPKM Darurat wilayah Jawa dan

Bali yang berlaku efektif 3 Juli lalu. 

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk wilayah Jawa dan Bali pada 3-20 Juli 2021 yang diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 (Inmendagri 15/2021) telah berlaku selama sepekan. Penjatuhan sanksi bagi pelanggar kebijakan baru ini mengacu pada Pasal 212-218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 212 KUHP menyebutkan ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500, sedangkan Pasal 218 KUHP menyebutkan ancaman pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp9.000. Selain itu, penjatuhan sanksi juga termuat dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang memberikan ancaman sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta.

Salah satu pelanggaran yang menyeruak baru-baru ini ialah pedagang bubur ayam yang tertangkap petugas patroli membiarkan 4 pelanggan makan di tempat serta beroperasi melebihi batas waktu kegiatan jual-beli yang sudah ditentukan yaitu pukul 20.00 WIB. Pedagang bubur ayam tersebut pun divonis pidana denda Rp5 juta subsider kurungan 5 hari penjara oleh Pengadilan Negeri Tasikmalaya karena Pasal 34 Ayat (1) juncto Pasal 21 I Ayat (2) huruf f dan g Perda Jabar Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat. Bukan jumlah denda yang kecil memang, tapi siapa suruh tidak ikut aturan? Kata pemerintah, kepastian hukum yang utama. 

Siapa yang dapat disalahkan?

Jelas masyarakat. 

Masyarakat, terkhusus golongan pelaku ekonomi mikro seperti pedagang bubur yang telah disebutkan. Aturan PPKM Darurat telah secara terang dan jelas dikabarkan melalui seluruh media nasional, lantas mengapa masih menyalahi? Mungkin saja karena ada tagihan listrik yang belum terbayar, keuntungan yang belum tercapai, atau malah keluarga yang menunggu kelaparan. Namun, tentunya hal remeh seperti itu bukan urusan pemerintah. Kesejahteraan masyarakat tidak penting lagi di masa kini. Hal yang penting adalah mengembalikan keadaan seperti semula sehingga proyek-proyek mega bisa berjalan. Sayonara bagi teriakan pelaku ekonomi mikro dan jutaan rakyat kecil lainnya, terhimpit aturan demi menghadirkan secentong nasi di rumah. 

Namun demikian, tidaklah mudah mengabaikan peraturan yang tebang-pilih seperti ini. Semati-matinya naluri hakim yang memutus perkara, tidakkan tersisa empati bagi pedagang kecil seperti S? Pun, hukuman hanya dijatuhkan bagi dirinya seorang diri, sementara 4 pembeli bubur yang memaksa makan di tempat tidak diproses hukum sama sekali. Bila memang ingin menegakkan hukum setinggi-tingginya dan memberikan hukum sepasti-pastinya hingga rela mengabaikan keadilan dan kemanfaatan, mengapa pembeli yang menyalahi aturan tidak turut diproses?

Pembahasan akan lebih lucu bila menyoroti hal lain, yaitu jenis sanksi pidana yang dikenakan. Bila dilihat secara seksama, jenis sanksi pidana yang umum diberikan ialah pidana penjara maupun kurungan, meski di tengah pandemi. Kapasitas sel lembaga pemasyarakatan sudah tinggi, rentan terhadap penularan virus Covid-19, dan berpotensi menjadikannya sebagai klaster baru. Akankah efektif memberlakukan sanksi tersebut kini? Apakah hal tersebut juga dianggap remeh dan bukan menjadi  urusan pemerintah? Akankah pejabat terkait mengucapkan “Kami tidak tahu” untuk yang kesekian kalinya?

Peperangan terhadap pandemi Covid-19 adalah tanggung jawab kita bersama. Tanpa sinergi antara pemerintah dan rakyat, peperangan ini tidak akan kita menangkan. Pemerintah berkewajiban untuk memperhatikan kesejahteraan rakyat, begitupun rakyat berkewajiban untuk tunduk terhadap kebijakan pemerintah. Rakyat memiliki hak untuk mengkritisi pemerintah, namun bukan berarti hak tersebut digunakan sewenang-wenang yang akhirnya berujung pada ketidakpercayaan dan siapa yang tahu bisa memperpanjang selesainya pandemi. 

 

Bagaimana dengan pemerintah?

Entahlah, saya takut dijerat UU ITE kali ini. 


Penulis: Adri Siregar