img-post

gemakeadilan.com- Beberapa tahun belakangan, dunia film Indonesia kembali bangkit dan meraih perhatian masyarakat melalui kisah yang beragam, salah satunya adalah mengangkat isu kelompok minoritas. Baru-baru ini warganet gencar mengkritik film Selesai (2021) yang tayang perdana pada 13 Agustus kemarin. Banyak yang berpendapat bahwa film ini hanya diperuntukkan untuk laki-laki misoginis karena alur dan gambaran cerita yang menggunakan lensa male gaze. Male gaze adalah kondisi di mana perempuan dalam media menjadi objek dan dilihat dari sudut pandang lakilaki. Teori male gaze pertama kali diperkenalkan oleh Laura Mulvey, seorang ahli teori film feminis dari Inggris. Dalam film Selesai, perempuan hanya direpresentasikan sebagai objek pasif kepuasan hasrat audiens laki-laki. Dalam film ini tergambarkan pula bagaimana cara pandang dan kebiasaan masyarakat yang cenderung patriarkis dan misoginis sehingga selalu menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki.

Dalam film Selesai perempuan digambarkan sebagai penyebab berbagai masalah dalam rumah tangga. Pada realita sosial hal ini juga sering terjadi yang membuat perempuan selalu dinomorduakan dan dipinggirkan. Semua penggambaran itu tidak terlepas dari budaya seksisme yang masih tumbuh subur di masyarakat. Jika kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, seksisme diartikan sebagai “penggunaan kata atau frasa yang meremehkan atau menghina berkenaan dengan kelompok, gender, ataupun individual.” Kamus Merriam-Webster juga memiliki definisi seksisme yang jika diterjemahkan secara bebas adalah “prasangka atau diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, khususnya diskriminasi terhadap perempuan”. Dikutip dari jurnal berjudul Seksisme Perempuan dalam Budaya Pop Media Indonesia oleh Irzum Farihah, media massa cenderung memotretkan kaum perempuan dalam peranperannya dimana mereka diremehkan atau didefinisikan secara sempit, sehingga menimbulkan “analisis simbolik” pada perempuan. Dari media inilah kemudian penindasan terhadap perempuan tersebar luas di hampir semua lapisan masyarakat.

Pada hakikatnya semua manusia terlahir sama dan sederajat, baik laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itu, setiap manusia memiliki hak yang sama untuk mendapat akses terhadap pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan, politik, dan lain sebagainya. Namun, seringkali ditemui ketimpangan gender akibat masih banyaknya pandangan diskriminatif dalam budaya masyarakat Indonesia terhadap kedudukan laki-laki dan perempuan. Pengsubordinasian terhadap perempuan merupakan buah dari budaya patriarki. Masyarakat Indonesia masih memandang bahwa posisi laki-laki selalu berada di atas perempuan. Sejarah nasional pun tidak terlepas dari isu ini di mana pada zaman dahulu perempuan tidak diperbolehkan mendapat pendidikan sebagaimana laki-laki (kecuali perempuan dari keluarga bangsawan). Perempuan juga tidak diizinkan untuk memiliki profesi di luar rumah maupun menempati jabatan dalam birokrasi. Imbas dari permasalahan-permasalahan tersebut kemudian muncullah berbagai gerakan, salah satu yang terkenal adalah perjuangan R.A Kartini.

Faktor lain yang membuat budaya seksisme sulit hilang adalah karena latar belakang agama dan kepercayaan. Dalam kenyataannya, isu seksisme masih mengendap di berbagai macam agama atau kepercayaan yang dianut masyarakat. Isu seksisme yang selalu membatasai perempuan seperti menganggap mereka tidak seharusnya berkerja dan diberikan tanggung jawab, tidak dapat mengemudi, tidak dapat menjadi pemimpin— baik di lingkup keluarga, ranah politik atau keagamaan, serta minimnya perlindungan hukum terhadap wanita merupakan jenis tindakan diskriminasi gender. Hal ini seharusnya sudah lenyap di era globalisasi seperti sekarang ini. Akibat dari maraknya isu seksisme ini adalah dirampasnya hak-hak perempuan. Perempuan yang seharusnya mendapatkan hak secara mudah harus melewati berbagai kesulitan karena isu seksisme ini. Perempuan dengan pengetahuan yang luas pun seringkali dianggap tidak dapat menjadi pemimpin. Disamping itu, pandangan yang mendiskreditkan perempuan juga membuat perempuan cenderung mengalami tindak kekerasan. Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan & Ford Foundation UGM Yogyakarta menyebutkan bahwa hasil penelitian di empat provinsi menunjukkan sekitar 90 persen perempuan pernah mengalami kekerasan di wilayah publik. Salah satu kekerasan yang paling sering dialami oleh perempuan adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual sendiri belum memiliki definisi yang jelas karena belum ada hukum yang dibentuk mengenai hal ini. Namun, secara umum kekerasan seksual dapat didefinisikan sebagai suatu interaksi antar manusia dalam bentuk penyerangan secara seksual, baik melalui verbal maupun fisik.

Kekosongan hukum dalam penindakan kekerasan seksual kemudian menjadi permasalahan tersendiri. Desakan dari gerakan-gerakan perempuan membuat DPR akhirnya membuat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS) karena substansi dalam KUHP saja tidak cukup untuk melindungi korban kekerasan seksual. Namun, ketika RUU ini akan disahkan, justru muncul penolakanpenolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Penolakan-penolakan tersebut kebanyakan didasarkan pada alasan mengenai potensi pertentangan materi RUU dengan nilai-nilai Pancasila dan agama. Tindakan menolak pengesahan ini justru mengabaikan substansi dan urgensi dari RUU PKS itu sendiri. Faktor penolakan tersebut biasanya disebabkan karena kurangnya edukasi kepada masyarakat dan pandangan masyarakat terhadap isu kekerasan seksual yang masih minim. Lagi-lagi semua itu merupakan salah satu dampak dari tumbuhnya budaya seksisme di masyarakat.

Untuk menghapuskan budaya seksisme, sedari awal kita bisa melawannya dengan menerima dan meyakini dua hal. Pertama, laki-laki dan perempuan itu berbeda dan memiliki tugas dan peran masing-masing. Kedua, perbedaan tugas dan peran tersebut tidak membuat peran salah satunya lebih penting dari peran lainnya. Jika dua hal tersebut sudah terinternalisasi, maka praktik seksisme bisa kita lawan, baik di rumah, sekolah, lingkungan kerja, maupun di tengah-tengah masyarakat. Peran lakilaki di sini juga sama pentingnya dengan perempuan. Sebab, perbaikan posisi dan status perempuan di mata masyarakat akan menguntungkan semua elemen kehidupan. 


Penulis                      : Febiyanti Atini 

Editor                          : Dwi Puspita Sari

Sumber gambar : nusabali.com