img-post

gemakeadilan.com - September hitam adalah sebutan oleh sejumlah lembaga, pengamat, dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) untuk beberapa peristiwa kelam yang terjadi pada bulan September yang hingga saat ini belum juga diselesaikan oleh negara secara berkeadilan dan mengedepankan prinsip-prinsip HAM. Meskipun beberapa kasus sudah melalui proses peradilan, tetapi pengungkapan kebenaran dan juga akses pemulihan kepada korban masih belum dituntaskan oleh negara hingga saat ini. Lalu, sebenarnya apa saja peristiwa yang terjadi dalam September Hitam? Bagaimanakah kronologinya? Berikut akan dijelaskan kronologi singkat dari beberapa kasus pelanggaran HAM di September Hitam.

 

Pertama, kerusuhan Tanjung Priok yang terjadi di Tanjung Priok, Jakarta Utara, 12 September 1984. Peristiwa ini merupakan peristiwa bentrokan antara aparat dan warga yang berawal dari urusan politik yang kemudian meluas menjadi masalah Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Pada peristiwa ini, sejumlah warga menghadang aparat militer bersenjata lengkap untuk menuntut pembebasan teman-teman mereka, yaitu para jamaah dan pengurus masjid yang ditangkap karena memasang pamflet yang dianggap “tidak bernapaskan Pancasila”. Situasi semakin memanas saat aparat melancarkan sejumlah tembakan. Korban jiwa pun berjatuhan dan sejumlah warga disekap dan disiksa oleh aparat. Setelah itu, jejak-jejak kekejaman di lokasi penembakan langsung dibersihkan sehingga tidak tersisa tanda-tanda kerusuhan. Dalam peristiwa ini, ratusan orang tewas akibat kekerasan dan penembakan yang dilakukan secara membabi buta dan ratusan orang lainnya menderita luka-luka. Sementara itu, ratusan orang lainnya ditangkap.

 

Kedua, peristiwa pembunuhan seorang aktivis HAM bernama Munir Said Thalib atau yang lebih sering dipanggil Munir. Kejadian ini terjadi pada 7 September 2004 di atas pesawat yang sedang menuju Belanda. Dua bulan setelah Munir meninggal, berdasarkan hasil otopsi oleh kepolisian Belanda ditemukan senyawa arsenik dalam tubuh Munir sehingga dapat disimpulkan bahwa penyebab kematian Munir adalah karena diracuni. Hal itu diduga berkaitan dengan pihak-pihak yang merasa terancam dengan aktivitas Munir dalam memperjuangkan HAM.  Aktor teknis pembunuhan berencana ini telah diadili, tetapi tidak dengan aktor intelektualnya. Mirisnya, kasus ini telah daluwarsa pada 7 September 2022 lalu, menghapuskan kesempatan Penuntut Umum untuk membuka kembali kasus ini guna menemukan dalang sebenarnya.

 

Lalu yang ketiga, Tragedi Semanggi I yang terjadi pada 11 sampai 13 November 1998. Pada saat itu, puluhan ribu mahasiswa dan elemen masyarakat sipil lainnya melakukan demonstrasi menolak pelaksanaan Sidang Istimewa MPR yang menunjuk BJ Habibie sebagai presiden menggantikan Soeharto. Demonstrasi tersebut berujung bentrokan yang terjadi antara massa dan aparat yang menyebabkan 17 warga sipil tewas dan 109 lainnya terluka.

 

Terakhir, Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999. Peristiwa ini merupakan kelanjutan dari Tragedi Semanggi I. Saat itu, ribuan mahasiswa, buruh, karyawan lembaga non-pemerintah dan berbagai profesi berdemonstrasi menuntut pembatalan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Bentrokan terjadi saat massa dibubarkan paksa oleh aparat. Sebanyak 11 orang tewas, termasuk seorang mahasiswa, dan 217 lainnya terluka akibat terkena tembakan, injakan, dan pukulan.

 

Beberapa kasus di atas hanyalah sedikit dari contoh kasus pelanggaran HAM yang termasuk dalam September Hitam.  Kasus-kasus tersebut meninggalkan banyak luka dan kesedihan bagi masyarakat luas, terutama keluarga dari para korban. Namun, keadilan belum juga ditegakkan bagi para korban pelanggaran HAM September Hitam.

 

Padahal, jika kita melihat dari aspek yuridis, hukum di Indonesia telah menjamin dan mengakui penghormatan terhadap HAM. Misalnya, pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Selain itu, HAM juga dengan jelas dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yaitu dalam Pasal 27 hingga Pasal 34.

 

Namun, faktanya penegakan HAM di Indonesia belum dapat dilakukan secara maksimal. Banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang pengusutannya masih terus ‘digantung’ hingga saat ini, termasuk kasus-kasus yang termasuk dalam September Hitam. Bahkan ada juga kasus yang menjelang atau sudah daluwarsa. Hal tersebut membuat masyarakat kecewa dan geram terhadap kinerja penegak hukum di Indonesia dan menimbulkan anggapan bahwa pemerintah lamban dan tidak serius dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM.

 

 

Penulis: Faradisya Diandra P.

Editor: Agistya Dwinanda

Sumber gambar: infogitu.com