gemakeadilan.com – Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan bagian penting dalam
keberjalanan demokrasi suatu bangsa. Di Indonesia, kebebasan
berpendapat merupakan salah satu isu krusial
yang telah melalui proses pendewasaan panjang. Jika kita merujuk pada
sejarah, eksistensi kebebasan berpendapat di Indonesia sangat bergantung dari pandangan
penguasa mengenai isu ini dan pengimplementasiannya dalam produk-produk hukum
yang mengatur hal tersebut. Tentu saja, berlaku kondisi dan situasi yang
berbeda pada setiap era kepemimpinan.
Kebebasan
berpendapat juga tidak bisa dilepaskan dari peran media. Media berfungsi
sebagai wadah dan sarana distribusi pendapat untuk dapat disebarluaskan secara
masif. Beberapa pemimpin Indonesia terdahulu menganggap media khususnya media
pers berpotensi menjadi bola panas yang akan menganggu stabilitas, kedamaian
dan keamanan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana penguasa cenderung membatasi
pers dan media yang menyertainya dengan hanya menyisakan media yang sepaham dan
sependapat dengan pendapat dan rencana pemerintah saat itu.
Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers merupakan produk hukum pertama yang secara
khusus mengatur persoalan pers. Dalam peraturan ini diterangkan bahwa pers
adalah alat revolusi yang berfungsi sebagai penyalur pendapat yang sesuai
dengan Pancasila, UUD 1945 dan menentang imperialisme, kolonialisme, komunisme
dan sebagainya. Undang-undang ini menegaskan bahwasanya pers dibebaskan dari
sensor dan pemberedelan, serta menghendaki pembetukan Dewan Pers untuk membina
dan mengembangkan pers nasional.
Namun
meskipun telah ada kepastian hukum, terdapat keganjilan dari pengaplikasian
Undang-undang ini. Fakta bahwa Menteri Penerangan adalah Ketua Dewan Pers
sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Undang-undang tersebut sempat menimbulkan
keraguan, karena kebebasan pers
dikhawatirkan terancam jika Dewan Pers dipimpin oleh pejabat pemerintah yang
berpotensi membawa kepentingan pihak tertentu sehingga dapat berseberangan
dengan pendapat masyarakat. Meski sempat diperbaharui dengan UU Nomor 4 Tahun
1967 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982, kebebasan pers justru terkesan
lebih ditekan dengan peraturan yang mewajibkan penerbitan pers yang dilakukan
oleh perusahaan pers untuk memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Angin
segar kebebasan Pers muncul pada masa pemerintah Presiden B.J. Habibie.
Presiden Habibie. Pandangan beliau mengenai pers sebagai tonggak demokrasi
kemudian mengantarkan dikeluarkannya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pada zaman ini ketentuan SIUPP
dicabut, terjadi penyederhanaan syarat untuk meminta izin pers serta stigma
kontrol dan kuasa pers penuh oleh pemerintah perlahan terkikis. Pasal 4 UU
Nomor 40 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pers dijamin dan merupakan hak setiap
warga negara. Selain itu pemaknaan pers dan perusahaan pers jauh didefinisikan
dengan lebih terbuka, dan fungsi pers nasional menjadi lebih dekat dengan
masyarakat dalam ketentuan Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang ini, “pers nasional berfungsi sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial”.
Kemudian
beranjak pada pembahasan selanjutnya terkait permasalahan tentang kebebasan
berpendapat dalam kurun waktu belakangan ini. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau akrab disebut dengan UU ITE. UU
ITE pada mulanya dimaksudkan sebagai tindak preventif atas perbuatan-perbuatan
yang tidak seharusnya terjadi di ranah digital, namun pada seiring berjalannya
waktu didapati bahwa beberapa Pasal dalam UU ITE berpotesi merenggut hak-hak
kebebasan berpendapat masyarakat.
Salah
satu ketentuan yang sempat menjadi kontroversi ialah muatan Pasal 27 Ayat 3 UU
ITE yang dianggap rawan untuk disalahgunakan. Bunyi pasal yang menyatakan bahwa
setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan yang
mendistribusikan dokumen atau muatan yang berisi penghinaan atau pencemaran
nama baik, dianggap luas pemaknaannya dan rawan terjadi misinterprestasi.
Perihal ketidakjelasan ini kemudian sedikit tercerahkan dengan ditandatanganinya
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menkominfo, Kapolri dan Jaksa Agung yang
memberikan penjelasan terkait beberapa pemaknaan dalam Undang-undang ini pada
bagian Pasal yang bermasalah.
Bahasan berlanjut pada
rumusan RKUHP yang sekarang sedang menjadi sorotan publik lantaran
prosesnya dianggap tidak transparan karena draf terbaru yang akan disahkan
belum dibuka pada publik. Beberapa pasal di dalamnya masih menjadi kontroversi,
salah satunya Pasal 218 yang disinyalir sebagai Pasal Penghinaan Presiden.
Tujuan awal pasal ini adalah untuk melindungi hak dan martabat Presiden dan Wakil Presiden dari segala bentuk hinaan. Namun banyak
pihak yang khawatir jika pelaksanaan pasal tersebut akan membatasi kebebasan
pendapat dan kritik.
Keresahan tersebut dijawab oleh Wakil Menteri
Hukum dan HAM Prof. Dr.
Edward Omar Sharif Hiariej dalam acara Catatan Demokrasi TVOne.
Beliau mengatakan bahwa Pasal 218 RKUHP memiliki pemaknaan yang berbeda dengan Pasal
134 RKUHP yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi,
yaitu merupakan delik biasa sementara di dalam
Pasal 218 RKUHP adalah delik aduan. Delik
aduan hanya dipertanggungjawabkan secara pribadi
sehingga yang dapat melaporkan adalah Presiden dan Wakil Presiden apabila seseorang dirasa melakukan penghinaan kepada
dirinya. Hal ini merupakan pencegahan agar pasal ini tidak digunakan secara sembarangan oleh aparat penegak hukum.
Meski begitu, sebagian
dari masyarakat masih memiliki keluhan terkait definisi
harkat dan martabat Presiden seperti yang tersebut dalam RKUHP. Dalam hal, pemaknaan
dirasa kurang rigid dan kurang jelas tolak ukurnya ucapan dan tindakan mana yang termasuk
kategori menghina. Batasan-batasan tersebut harus dipertegas dan diperkuat
dalam pengaturannya, karena KUHP akan berlaku dalam jangka waktu yang sangat
lama. Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan bangsa di masa depan
setelah KUHP ini disahkan, banyak pihak yang menilai pasal-pasal
dalam RKUHP salah satunya Pasal Penghinaan Presiden yang berpotensi mengancam
kebebasan memberikan kritik dan pendapat ini layak untuk direvisi.
Penulis: Intan Alviaturrohmaniyah, Atmakeno
Daniswara
Editor: Vanya Jasmine
Sumber Foto: https://www.kemenkumham.go.id