gemakeadilan.com-Jaksa Penuntut Umum secara resmi mengajukan tuntutan tiga
bulan penjara kepada dua dari empat mahasiswa asal Semarang yang ditangkap saat
ikut aksi Tolak Omnibus Law, Selasa
(20/4). Persidangan yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Kota Semarang
tersebut dilakukan dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Dua Mahasiswa berinisial IRF dan NAF yang berasal dari
Unissula tersebut didakwa telah melakukan Penghancuran atau Pengerusakan Barang
dengan Pasal 170 ayat (1) KUHP, Pasal 406 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP, Pasal 212 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 216 ayat (1)
KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dakwaan ini diberikan terkait dugaan pengerusakan barang
yang dilakukan kedua mahasiswa tersebut pada saat aksi mahasiswa menolak
Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja di depan Gedung DPRD Jawa tengah tahun
lalu.
Atas diadakannya persidangan
kedua tersebut, aksi solidaritas antar mahasiswa dari berbagai universitas di
Semarang dan DIY pun bermunculan. Di saat yang sama, mahasiswa-mahasiswa se-Semarang yang bergerak
secara kolektif melakukan Aksi Tolak Kriminalisasi di depan gedung pengadilan
tepat saat sidang sedang berlangsung.
Setidaknya, ada empat universitas yang turun dalam aksi
tersebut; Undip, Unissula, Udinus, dan Unnes.
Puluhan
mahasiswa tersebut melakukan suatu aksi propaganda dengan membuat tanda silang
dan menempelkan perekat di masker mereka sebagai simbol adanya pembungkaman
terhadap demokrasi yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat yang
menginginkan keadilan.
Berdasarkan keterangan dari perwakilan mahasiswa Unnes,
timbulnya aksi ini merupakan akibat dari banyaknya kejanggalan yang terungkap
selama persidangan sebelumnya. Bahkan,
menurut keterangan tim penasihat hukum terdakwa, terungkap bahwa selama proses
pemeriksaan, penyidik kerap melakukan kekerasan fisik dan verbal kepada
terdakwa yang jelas bertentangan dengan pedoman pemeriksaan yang ada pada
Peraturan Kapolri.
“Mereka mendapat tindakan represif. Hal itu juga diungkapkan
bahwa selama proses pemerikasaan mereka mendapat penyiksaan,” ujar perwakilan
dari tim penasihat hukum salah satu terdakwa.
Hal senada juga disampaikan oleh perwakilan mahasiswa Unnes
saat press release aksi seusai persidangan
selesai. Dalam press release tersebut
diungkapkan bahwa penyiksaan tersebut meliputi pemukulan hingga penginjakan.
“Berapa mahasiswa korban kriminalisasi penolakan Omnibus Law
sudah mengalami berbagai bentuk penyiksaan dan penganiayaan dari pihak penyidik
kepolisian sejak dilakukan pemeriksaan. Bentuk pemeriksaan menurut korban
antara lain pemukulan bagian kepala, ditendang, dan diinjak pada leher sehingga
kesusahan dalam bernafas. Selain penyiksaan secara fisik, mahasiswa korban
kriminalisasi tersebut juga mendapatkan kekerasan secara verbal dari aparat
kepolisian Polrestabes Semarang dengan ungkapan seperti anjing, asu, dan beberapa umpatan kasar lainnya,” ujar perwakilan
mahasiswa dari Unnes dalam Press Release
seusai persidangan.
Di akhir press
release, perwakilan mahasiswa tersebut menyampaikan empat pernyataan sikap
kolektif dari para mahasiswa yang melakukan aksi. Sikap-sikap tersebut
meliputi:
1.
Menolak segala bentuk pembungkaman terhadap
kemerdekaan dan kebebasan akademik
2.
Mendukung mahasiswa korban kriminalisasi yang
saat ini sedang berjuang mencari keadilan
3.
Menyatakan bahwa semua mahasiswa tersebut
bukanlah kriminal melainkan pejuang demokrasi dan HAM yang justru menjadi
korban kriminalisasi dari negara
4.
Meminta kepada majelis hakim agar bertindak
adil, objektif, dan menjunjung tinggi integritas dan kode etik serta memohon
untuk membebaskan semua mahasiswa korban kriminalisasi tersebut
“Kami berharap nurani dan akal sehat penegak hukum masih
berpihak pada kebenaran,” tutupnya.
Penulis
Bima
Ginting