img-post

“I feel so dirty in my own body.” Kalimat tersebut ditulis oleh musisi Nadin Amizah setelah dirinya mengalami pelecehan saat tampil di konser Pasar Senggol, Summarecon Mall Bekasi. Dalam unggahan Instagram-nya, Nadin menyampaikan perasaan trauma dan kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Ini bukan yang menjadi pertama kalinya perempuan harus memikul luka karena dianggap “berlebihan” hanya karena dianggap berani bersuara. Tidak hanya sentuhan yang membuat hal tersebut menjadi menyakitkan, tetapi juga reaksi publik yang mengecilkan, mengabaikan, atau bahkan menyalahkan. Di sinilah yang menjadi titik masalahnya, kita terlalu sering menganggap pelecehan sebagai “kenakalan”, alih-alih kekerasan.


Ketika perempuan naik ke panggung, apakah itu berarti ia melepaskan hak atas tubuhnya? Ketika ia menari, bernyanyi, dan mengekspresikan dirinya, apakah itu merupakan suatu undangan untuk disentuh? Tubuhnya bukan peta yang bisa dijelajahi sesuka hati, bukan ruang bebas yang siap diklaim dengan dalih kekaguman. Budaya kita masih gagal memahami suatu hal yang mendasar, tubuh perempuan bukanlah milik semua orang. Ia bukan tempat bebas eksplorasi atau konsumsi visual dan fisik. Pelecehan terhadap Nadin Amizah bukan hanya tindakan fisik, melainkan juga bentuk perampasan hak paling dasar yang seharusnya dimiliki oleh semua manusia, yaitu untuk merasa aman dalam tubuhnya sendiri.


Penting untuk diingat bahwa pelecehan seksual tidak selalu meninggalkan luka fisik. Saat ini, yang sering tertinggal adalah luka psikis, seperti rasa malu, jijik, kemarahan yang tertahan, bahkan depresi. Nadin menulis mengenai perasaannya yang menekankan bahwa saat ini ia merasa kotor, tidak nyaman, dan takut untuk tampil kembali. Trauma semacam ini bisa membekas seumur hidup, namun seringkali dianggap remeh. Saat perempuan bicara tentang ketakutan dan rasa jijik atas pelecehan, tidak jarang mereka menerima tanggapan yang meragukan validitas perasaan tersebut, yang justru dianggap berlebihan, mencari perhatian, dan masalah kecil.


Selain itu, pertanyaan dan permasalahan tentunya tidak hanya ditujukan kepada pelaku, tetapi juga kita sebagai penonton, masyarakat, dan sistem yang membentuk bagaimana cara kita untuk merespons. Mengapa pelecehan masih sering dianggap remeh? Mengapa yang dibicarakan justru pakaian korban, bukan pelaku yang melakukan pelecehan tersebut? Ketika perempuan bersuara, kita selalu sibuk mencari alasan untuk membungkam. Saat tubuhnya dirampas, kita berlindung di balik moral palsu dan budaya diam. 


Kasus Nadin Amizah bukan sekadar insiden konser. Ia adalah cermin besar tentang bagaimana tubuh perempuan masih terus dinegosiasikan di ruang publik, dipertanyakan validitas traumanya, dan diredam suaranya atas nama tatanan yang berlagak paling beradab. Jika kita sungguh percaya pada nilai-nilai kemanusiaan, maka saatnya kita berhenti menyebut pelecehan sebagai “tangan jahil” karena tidak ada yang main-main dari pelanggaran yang menimbulkan luka mendalam. Tubuh perempuan bukan untuk dipandang dengan maksud memiliki atau diambil paksa. Tubuh perempuan bukanlah sesuatu yang bisa dijelajahi seolah-olah tanpa pemilik. Setiap kali kita membiarkan hal ini terjadi, kita sebenarnya gagal menjadi masyarakat yang pantas disebut bermoral.


Penulis: Dungo Robintang I. Situmeang

Editor: Fildzah Shafa Ghani dan Rizki

Sumber Gambar: Kucantik.com