gemakeadilan.com - Het Recht Hink Achter de Feiten Aan
Hukum selalu tertinggal dari peristiwa yang diaturnya
Berangkat dari adagium tersebut, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat membuat hukum harus dapat menjawab tantangan perkembangan tersebut. Hadirnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi layaknya pedang bermata dua yang pada satu sisi memberi manfaat dan kemudahan, tetapi di sisi lain membawa ancaman, di antaranya muncul modus operandi baru dalam tindak pidana yang terjadi di masyarakat, khususnya korupsi. Para pelaku tindak pidana korupsi lebih leluasa menghapuskan jejak kejahatannya melalui sarana dan manfaat dari perkembangan teknologi. Sejalan dengan adagium sebelumnya, maka tugas hukum adalah mencari solusi atas ancaman tersebut. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah penyusunan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (terkait dengan) Tindak Pidana. Namun, dalam realitasnya, pengesahan rancangan undang-undang tersebut masih memiliki berbagai tantangan. Oleh sebab itu, dalam Bincang Eksplisit Bahas Hukum (Bedebah) kali ini, telah dilakukan wawancara bersama Gaza Carumna Iskadrenda, S.H., M.H., (Dosen Hukum Pidana Korupsi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro) selaku narasumber untuk menelaah lebih lanjut mengenai “Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana”.
Berdasarkan hasil wawancara, dijelaskan bahwa secara doktriner terdapat tiga kategorisasi barang dalam tindak pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi. Tiga kategorisasi tersebut meliputi, 1) instrumentum sceleris, berupa barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; 2) obiectum sceleris, berupa barang yang berhubungan dengan tindak pidana; dan 3) fructum sceleris, berupa barang hasil dari tindak pidana. Dalam konteks perampasan aset, ketiga kategorisasi barang tersebut dapat dilakukan perampasan. Adapun cara perampasannya dapat dilakukan melalui dua mekanisme, yaitu Conviction Based Asset Forfeiture yang menitikberatkan pada pemidanaan terhadap pelaku terlebih dahulu sebelum aset dirampas (in personam) dan Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) yang tidak menitikberatkan pada pemidanaan terhadap pelaku, melainkan pada perampasan aset dari pelaku (in rem). Kedua jalur mekanisme tersebut sebenarnya telah diatur dalam regulasi hukum di Indonesia.
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana berkaitan erat dengan mekanisme NCB. Secara mutatis mutandis, mekanisme NCB telah diatur dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 38C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Regulasi tersebut memungkinkan adanya perampasan aset, meskipun belum ada putusan in kracht yang menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Salah satu contoh kasus aktual terkait prospek penerapan NCB dapat dilihat dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh Lukas Enembe, mantan Gubernur Papua, yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat. Lukas Enembe pun telah melakukan banding dan sedianya akan melakukan kasasi atas kasusnya tersebut. Namun, belum sempat melakukan kasasi, Lukas Enembe telah meninggal dunia yang membuat putusan pemidanaan (veroordeling) atas korupsi yang dilakukannya belum berkekuatan hukum tetap. Meskipun demikian, secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, sehingga dapat dilakukan perampasan aset melalui mekanisme NCB (vide Pasal 34 UU PTPK).
Regulasi tersebut juga dapat mengatasi persoalan terkait perampasan aset bagi terdakwa yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Prospek penerapannya dapat dilihat dalam kasus BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung, mantan Ketua BPPN, yang demikian diputus lepas oleh Mahkamah Agung. Sekalipun kasus tersebut bukan merupakan conviction based, secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, sehingga dapat pula diselesaikan melalui mekanisme NCB (vide Pasal 32 UU PTPK beserta Penjelasan-nya)
Berdasarkan uraian tersebut, sejatinya mekanisme NCB telah diakomodasi oleh regulasi yang ada. Lantas, apa urgensi dari pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana?
Salah kaprah yang sering terjadi adalah Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana dianggap sebagai upaya untuk mengodifikasi seluruh ketentuan regulasi perampasan aset. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari nomenklatur yang digunakan, in casu menggunakan frasa “perampasan aset tindak pidana”. Padahal, seharusnya diberikan tambahan frasa menjadi “perampasan aset tindak pidana tanpa pemidanaan”, mengingat rancangan undang-undang tersebut sebatas mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam mekanisme NCB. Hal ini menjadi penting mengingat di dalam penemuan hukum pidana dikenal prinsip titulus est lex yang berarti titel atau judul dari perundang-undangan bersifat menentukan. Penambahan frasa tersebut dapat menjadi upaya untuk meminimalisasi salah kaprah sebagaimana dimaksud.
Sekali lagi, penyusunan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana bukan dimaksudkan sebagai upaya kodifikasi ketentuan perampasan aset dalam satu produk hukum, melainkan mengisi kekosongan dari regulasi perampasan aset yang telah ada. Oleh sebab itu, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk menutup celah hukum (loopholes) dalam regulasi perampasan aset di Indonesia. Beberapa di antaranya, rancangan undang-undang tersebut hendak menormakan secara spesifik tiga kategorisasi barang yang dapat dirampas tadi (vide Pasal 5 RUU Perampasan Aset) dan membatasi kualifikasi tindak pidana beserta jumlah aset yang dapat dilakukan perampasan (vide Pasal 6 RUU Perampasan Aset). Rancangan undang-undang tersebut juga hendak mengatur secara rigid mengenai “Hukum Acara Perampasan Aset” yang dirumuskan dari perpaduan antara konsep hukum acara perdata dan hukum acara pidana (vide Bab III: Pasal 8 sampai dengan Pasal 49). Hal ini dalam rancangan undang-undangan tersebut yang terbilang krusial adalah hendak diaturnya perampasan aset dari ketimpangan antara aset yang dimiliki dengan aset yang dilaporkan oleh pelaku dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Implikasinya, aset yang tidak seimbang dapat pula dirampas melalui mekanisme NCB (vide Pasal 5 ayat (2) huruf a beserta Penjelasan-nya). Dengan demikian, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi hal yang urgen untuk segera dibahas dan disahkan oleh pembentuk undang-undang.
Agar lebih optimal, mekanisme perampasan aset yang diatur dalam rancangan undang-undang tersebut tidak sebatas disesuaikan dengan prinsip due process of law di negara Indonesia, tetapi harus pula disesuaikan/dipadankan dengan prinsip due process of law di negara-negara lain. Hal ini tentunya tidak terlepas dari arus globalisasi yang menghilangkan sekat antarnegara, sehingga kejahatan pun bisa terjadi dalam konteks lintas batas negara (transnational). Lebih lanjut, penyesuaian/pemadanan ini juga berangkat dari pengalaman buruk Indonesia dalam hal pengembalian aset dari luar negeri yang sering terhalang baik oleh perbedaan sistem hukum maupun prinsip due process of law yang dianut oleh negara lain. Salah satu upaya untuk menyesuaikan/memadankannya adalah dengan mengacu pada pedoman (guidelines) yang digagas oleh StAR Initiative (antara World Bank dan UNODC) terkait bagaimana mengatur dan menerapkan NCB di suatu negara.
Penulis: Khaiqal Pranata, Tiara Shifa Handayani