img-post

gemakeadilan.com - Belakangan ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menuai pro-kontra dari berbagai kalangan masyarakat terutama tenaga kesehatan. Hal ini disebabkan oleh hadirnya RUU Kesehatan yang diharapkan mampu menjadi dasar untuk membangun sistem kesehatan nasional yang dapat memastikan perlindungan dan pemenuhan hak kesehatan masyarakat dinilai tidak adil dan masih terdapat banyak masalah.

Diketahui tujuan dari adanya RUU Kesehatan adalah untuk meningkatkan kemandirian nasional dalam sektor farmasi dan alat kesehatan. Selain itu, RUU Kesehatan juga bertujuan mendorong kemajuan produksi tenaga kesehatan serta mewujudkan organisasi kesehatan yang lebih baik lagi. Ditinjau dari segi manfaat, adanya RUU Kesehatan ini dapat mendorong pendidikan dokter spesialis yang murah dan transparan.  Menurut Dr. Mohammad Syahril selaku Juru Bicara Kementerian Kesehatan melalui RUU Kesehatan, pendidikan dokter spesialis dapat dilakukan berbasis rumah sakit di bawah pengawasan kolegium dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI).

Dengan adanya RUU Kesehatan, pendidikan spesialis dapat dilakukan dengan program proctorship, dimana dokter dari daerah yang akan mengambil spesialis tidak perlu datang ke pusat untuk menempuh pendidikan, justru tim pengajar yang harus datang ke daerah untuk memberikan pengajaran terkait pendidikan dokter spesialis. “Ini seperti skema di Inggris nantinya dimana jika ada daerah yang kekurangan dokter spesialis, maka dosennya yang diturunkan ke daerah tersebut untuk memberikan pendidikan. Jadi misalnya ada kekurangan dokter spesialis di Kalimantan, maka nanti pengajarnya yang kesana. Bukan dokternya yang ke Jawa,” kata Syahril.

Selain dibahas mengenai program proctorship dalam RUU Kesehatan, masalah lain seperti bullying juga menjadi perhatian khusus dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah dimana pasal anti perundungan sudah diusulkan masuk dalam RUU Kesehatan. Usulan tersebut tercantum dalam pasal 208E poin (d) yang berbunyi "Peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan mendapat perlindungan dari kekerasan fisik, mental, dan perundungan."

Di sisi lain, RUU Kesehatani ini juga menuai  protes dari tenaga kesehatan yang tergabung dalam organisasi-organisasi kesehatan seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) yang diwujudkan dengan adanya aksi damai. Aksi damai ini ditujukan khususnya untuk menuntut pemerintah untuk memperhatikan sejumlah fasilitas kesehatan di daerah pelosok yang belum memadai dan untuk menuntut beberapa substansi dalam RUU Kesehatan yang masih memiliki banyak masalah. “RUU Kesehatan itu tidak adil dan masih banyak masalah, pembahasan mengenai RUU harus dihentikan,” ujar Adib Khumaidi selaku Ketua Umum Pengurus Besar IDI pada Senin, (8/5). Menurut Adib, RUU Kesehatan berpotensi memecah belah profesi kesehatan, melemahkan perlindungan, dan kepastian hukum tenaga kesehatan. "RUU terlalu terburu-buru dan belum mampu mengakomodasi masukan dari organisasi profesi," tegasnya. 

Sementara itu, Beni Satria selaku Juru Bicara Aksi Damai Stop Pembahasan RUU Kesehatan mengatakan tujuan dari aksi ini untuk memfokuskan poin-poin yang ada dalam RUU Kesehatan. Poin yang dimaksud termasuk anggaran, perizinan, hak-hak tenaga kesehatan dalam mendapatkan perlindungan hukum, serta hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. "Kami juga memfokuskan pasal-pasal kriminalisasi tentang unsur yang membuat para tenaga kesehatan menjadi takut. Apalagi, adanya ancaman unsur pidana hingga 10 tahun itu membuat para tenaga kesehatan takut," kata Beni.


Penulis: Widi Enggarwati

Editor: Aliv Izzul Haq

Sumber gambar: tempo.co