img-post

—Libertas non est libertinage

Kebebasan bukanlah kebebasan tanpa batas.


Adagium tersebut mencerminkan dilema yang muncul di tengah kemajuan teknologi modern, khususnya dalam pemanfaatan Artificial Intelligence (AI). AI merupakan salah satu bentuk inovasi teknologi yang telah digunakan luas di berbagai bidang kehidupan, termasuk hukum. Kontribusinya nyata dalam membantu manusia menyelesaikan permasalahan sehari-hari. Bahkan AI telah membawa transformasi besar di hampir seluruh sektor, termasuk dalam praktik komunikasi politik. Kehadiran AI membuka babak baru dalam mengekspresikan opini dan kritik terhadap kebijakan maupun tokoh politik. Namun, ketika kebebasan berekspresi tidak dibarengi dengan batas moral dan tanggung jawab etis, ruang virtual dapat berubah menjadi sarana yang menyesatkan dan merugikan. Sejalan denga hal tersebut, keberadaan AI belakangan ini menuai kontroversi, salah satunya terkait kasus seorang mahasiswi di perguruan tinggi negeri yang membuat ilustrasi tokoh politik menggunakan AI. Ilustrasi tersebut dianggap tidak senonoh dan memicu reaksi publik yang beragam.

Menanggapi hal ini, Bedah Eksplisit Bincang Hukum (Bedebah) mewawancarai Anggita Doramia Lumbanraja, S.H., M.H., selaku Dosen bidang Dasar-Dasar Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, guna mengupas lebih dalam tentang dilema etika dan hukum terkait penyalahgunaan AI untuk membuat ilustrasi bernuansa tidak senonoh sebagai bentuk kritik politik.

Menurut hasil wawancara, penggunaan AI dalam menyampaikan kritik harus ditinjau dari berbagai aspek, termasuk dari sudut non-yuridis. Secara historis, menyampaikan kritik lewat gambar atau ilustrasi sebenarnya diperbolehkan. Sejak zaman Yunani Kuno hingga Perang Dunia II, sudah banyak praktik serupa di mana para filsuf pun turut menyampaikan kritiknya melalui karya-karya seni. 

Dengan berkembangnya konsep demokrasi, praktik menyampaikan kritik semacam itu justru menjadi bagian penting yang dibutuhkan dalam kehidupan bernegara. Namun, perlu dicatat bahwa ilustrasi yang memuat kritik terhadap tokoh politik termasuk dalam seni hak politik atau the art of political rights dan karena bersifat seni, maka interpretasinya juga sangat subjektif. Sifat subjektif ini memungkinkan pihak birokrat atau lingkaran politik memandang kritik tersebut sebagai character assassination atau pembunuhan karakter dan bahkan bisa dikategorikan sebagai pencemaran nama baik. Namun, selama kritik tetap berada dalam koridor kepatutan dan kesusilaan, maka hal itu seharusnya masih bisa diterima.

Selain itu, dalam tinjauan non-yuridis lainnya aspek budaya juga perlu dipertimbangkan. Meski kebebasan berpendapat adalah hak politik dan bagian dari demokrasi, tetap saja ada batasannya. Jika kritik bersinggungan dengan simbol-simbol negara seperti bendera atau lambang negara, maka penyampaiannya harus hati-hati karena bisa melanggar nilai-nilai yang dihormati dalam kultur kekuasaan. 

Dari segi yuridis, menyampaikan pendapat telah dijamin oleh konstitusi melalui Pasal 28B serta Pasal 23 ayat (2) terkait hak asasi manusia. Hal ini juga menjadi dasar dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam hukum cyber, baik dari sisi perdata, pidana, maupun administratif, semuanya telah tercakup dalam UU ITE yang telah mengalami revisi pada tahun 2016 dan 2024. UU ITE mencakup ranah kesusilaan dan kesopanan. Namun, permasalahannya adalah bahwa beberapa pasal dalam UU ITE sering disebut sebagai "pasal karet", karena penafsirannya sangat luas. Ketika UU ini disusun pada tahun 2008, pembuatnya belum mempertimbangkan perkembangan dunia maya sebagai realitas yang setara dengan dunia fisik. UU ini hanya mencerminkan ekosistem internet generasi pertama (1.0) yang masih mekanis dan terpusat, belum menyentuh desentralisasi dan dinamika AI yang muncul dalam internet 2.0 dan 3.0.

Kini, ruang digital sudah sangat dinamis dan AI mulai menjadi aktor dalam interaksi virtual. Oleh karena itu, banyak perbuatan hukum yang terjadi di ruang maya tidak tercakup secara eksplisit dalam UU ITE, sehingga muncul kekosongan hukum. UU ITE saat ini belum sempurna dan belum ada konvensi internasional terkait ruang cyber yang benar-benar diratifikasi pemerintah Indonesia. Maka panduan yuridis dalam menentukan sah tidaknya kritik melalui AI tetap merujuk pada UU ITE yang ada, meski dengan banyak catatan. Untuk menentukan bahwa suatu perbuatan bisa dikenai delik, maka harus ada standar hukum. Sayangnya, dalam kasus seperti ini standar tersebut belum stabil. Pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku dalam kasus ini adalah Pasal 27 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2024 yang menyatakan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.” Pasal ini menjadi landasan hukum yang dianggap fleksibel oleh banyak ahli karena tidak memiliki batasan jelas.

Terdapat beberapa pedoman yang menentukan apakah suatu kritik tergolong sah atau tidak. Bila dilanggar, kritik tersebut bisa dianggap sebagai delik penghinaan. Dalam kasus mahasiswi tersebut, pelanggaran terhadap kaidah kesusilaan terlihat dari bentuk visualisasi pornografi dan orientasi seksual yang muncul dalam ilustrasi, yang kemudian dianggap sebagai fitnah. 

Ilustrasi diperbolehkan selama menggambarkan fakta. Namun jika bersifat fitnah, maka termasuk pembunuhan karakter. Oleh karena itu, pihak kepolisian memiliki dasar hukum untuk menetapkan pelaku sebagai tersangka, sebab kritik yang disampaikan sudah keluar dari koridor kebebasan berpendapat. Selain itu, kritik tidak boleh menyentuh ranah pribadi. Bila sudah menyentuh karakter pribadi dan hal tersebut dipergunjingkan, maka sudah masuk ke ranah penghinaan. Meski demikian, UU ITE dan peraturan pelaksananya (PPSE) belum memberikan batas hukum yang jelas.

Merujuk pada pemikiran Ronald Dworkin, kasus semacam ini termasuk dalam hard cases—kasus yang kompleks dan tidak memiliki aturan hukum yang terang. Dalam dunia cybercrime, penghinaan termasuk kategori hard case karena tidak ada standar hukum yang matang dan jelas. Jika pelaku bisa membuktikan bahwa ia bertindak dengan itikad baik, maka perbuatannya bisa dikesampingkan dari delik. Namun, jika tidak, maka akan dilihat dari aspek mens rea atau niat jahat dalam hukum pidana.

Menurut Anggita, tindakan pelaku tidak bisa dikategorikan sebagai satire atau kritik politik, sebab ia tidak memiliki latar belakang sebagai pengkritik atau aktivis politik. Dalam hukum administrasi, konteks penyalahgunaan kekuasaan bisa ditentukan dari latar belakang dan wewenang pelaku. Jika tidak ada wewenang, maka perbuatan tersebut lebih mudah dikategorikan sebagai delik murni. Walaupun pelaku memiliki hak kebebasan berpendapat, perlu diperjelas konteksnya. Sebagai perbandingan, Butet Kartaredjasa—seorang seniman dan pengamat politik—masih bisa dikatakan berada di area sah karena latar belakangnya. Namun dalam kasus mahasiswi ini, karena tidak ada kapasitas tersebut, maka perbuatannya dianggap sebagai delik penghinaan yang disengaja. Faktor pentingnya adalah niat, kapasitas, penyebaran konten, dan tujuannya.

Dalam menentukan batas antara kritik sah dan ilustrasi yang dianggap tidak senonoh, Pasal 27 ayat (1) dan (3) serta Pasal 125 ayat (1) dan (3) UU ITE memberikan rambu-rambu hukum, antara lain menyangkut kesusilaan, kesopanan, harga diri, dan martabat seseorang.

Dalam konsep hukum pidana, delik dibedakan menjadi kejahatan dan pelanggaran. Jika pelanggaran mencederai nilai moral dan HAM, maka dikategorikan kejahatan. Dalam kasus ini, apabila terbukti mencemarkan nama baik dan merendahkan martabat, maka dianggap sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai fundamental dan termasuk kejahatan yang tentu memiliki hukuman lebih berat.

Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 terhadap Pasal 45 ayat (2) UU ITE, menyatakan bahwa delik penghinaan adalah delik aduan absolut, yaitu hanya bisa diproses bila korban mengadukan langsung. Namun dalam revisi 2024, delik ini termasuk aduan relatif, apalagi jika menyangkut kesusilaan. Maka, kasus ini masuk ke delik penghinaan karena memuat visualisasi disorientasi seksual dan bukan ditujukan untuk kritik konstruktif.

Menurut historisnya, sebuah kritik ditujukan untuk memperbaiki keadaan dan memberikan solusi. Bila tidak ada niat memperbaiki, melainkan untuk mempermalukan, maka kritik itu tidak bisa lagi dilindungi.

Dalam aspek etika, karya seni manusia mengandung cipta, rasa, dan karsa, serta harus memenuhi tiga syarat agar sah, yaitu, niat yang murni, kesesuaian budaya, dan kualitas ekspresi artistik yang bermakna. Bila aspek ini tidak dipenuhi, maka ekspresi tidak bisa dianggap sebagai kebebasan berekspresi.

Di sisi lain, dalam konteks AI, output yang dihasilkan tidak selalu mencerminkan niat prompt engineer. Meski begitu, produk AI tetap menjadi tanggung jawab manusia sebagai pengguna. Saat ini AI belum dianggap sebagai subjek hukum, namun banyak ahli memperkirakan bahwa status tersebut bisa berubah seiring waktu.

Dalam UU ITE yang belum mengatur AI secara konkrit, subjek hukum masih terbatas pada manusia. Oleh karena itu, proses penyidikan akan menyelidiki apakah prompt yang dibuat mengandung niat jahat. Dalam menentukan delik, aspek objektif (niat) dan subjektif (pertanggungjawaban) harus dipenuhi. Jika salah satu tidak terpenuhi, maka asas penghapus pidana bisa diberlakukan. Dalam kasus mahasiswi tersebut, penting untuk menelusuri isi prompt dan melihat apakah mengandung fitnah atau fakta. Jika fitnah, maka ada mens rea dan ia bisa dijatuhi hukuman.

Dalam konteks konstitusi, kritik terhadap presiden tidak melanggar konstitusi karena presiden bukan simbol negara. Namun, sebagai individu, presiden tetap memiliki kehormatan dan martabat yang dilindungi hukum. Dalam KUHP Pasal 218 disebutkan bahwa orang yang menyerang martabat presiden di muka umum dapat dihukum hingga 3 tahun 6 bulan.

Jika seandainya ada spekulasi bahwa ilustrasi AI tersebut dimaksudkan bukan untuk mengkritik presiden, melainkan sebagai kritik terhadap ketidakjelasan regulasi AI di Indonesia, maka ini menunjukkan belum adanya regulasi konkret tentang AI. Indonesia masih menghadapi kekosongan hukum akibat lemahnya political will dan kurangnya antisipasi terhadap dampak dunia virtual yang tidak diatur secara konkrit. Sebagai warga negara, wajar jika ada ketidakpuasan terhadap aturan. Sampai saat ini belum ada peraturan yang secara sempurna mengatur semua bentuk tindakan dan konsekuensi hukum dalam dunia digital. Namun pada intinya, banyak yang harus diperhatikan dan seseorang harus memiliki moralitas yang kuat ketika mengkritik seseorang. Tidak ada suatu perundang-undangan yang benar-benar bisa mengatur secara baik khususnya di dalam semua perbuatan hukum dan akibat hukum yang ada di dalam ruang-ruang cyber

Maka, inti permasalahan dari penggunaan AI sebagai saran penyampaian kritik terutama yang ditargetkan kepada seorang tokoh pemimpin negara mengandung berbagai polemik, dari segi yuridis hak menyampaikan pendapat dijamin konstitusi dan diatur dalam UU ITE. Namun, UU ITE, dengan "pasal karet" dan belum mengakomodasi dinamika AI, sering menimbulkan kekosongan hukum. Hak kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi dan diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, UU ITE, yang sering disebut memiliki "pasal karet" dan belum beradaptasi dengan dinamika kecerdasan buatan (AI), kerap menciptakan kekosongan hukum.


Penulis: Nabila Abhista