img-post

gemakeadilan.com – Selama kurang lebih satu bulan ini, publik digemparkan dengan kasus pembunuhan Brigadir NYH atau biasa dikenal sebagai Brigadir J yang secara tragis tewas di tangan Irjen Pol. FS selaku mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Kepolisian Republik Indonesia. Kasus kematian Brigadir J dapat dibilang merupakan sebuah kasus yang complicated karena melibatkan pejabat Polri sebagai dalang utama pembunuhan. Melihat tokoh antagonis dalam kasus ini, maka para pemirsa termasuk netizen Indonesia sudah dapat menebak bagaimana kelanjutan alur cerita dalam upaya pengungkapan kasus ini. Tanpa penulis perjelas, sudah bukan rahasia umum jika kita menonton film atau serial yang membahas mengenai tindak kriminal oleh sosok penting maka segenap kekuatan dan sumber daya dapat digunakan oleh sosok tersebut untuk meringankan atau bahkan menutupi perbuatan jahat mereka. Bahkan, boleh jadi iblis pun akan bersaksi bahwa bukan ia yang mengilhami tindakan tokoh antagonis berpangkat dalam memanipulasi sebuah kasus yang mereka lakukan.

 

Penyelidikan terhadap kasus Brigadir J per Agustus hingga September 2022 selalu menjadi sebuah topik hangat yang ditunggu oleh masyarakat. Salah satu sosok yang tidak luput dari sorotan publik dalam kasus pembunuhan Brigadir J ini adalah PC atau yang lebih dikenal dengan Putri Sambo. Istri FS tersebut merupakan salah satu tersangka yang diduga terlibat dalam pembunuhan Brigadir J dan dijerat dengan Pasal 340 KUHP. Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada penahanan terhadap PS dengan dalih masih memiliki anak balita serta kondisi kesehatan yang belum pulih. Di samping itu, pembelaan terus berdatangan dari berbagai sudut, mulai dari tokoh terkenal seperti Kak Seto hingga Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Pihak kepolisian pun mengiyakan penangguhan penahanan terhadap PC sebagai tersangka.

 

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan bahwa, “Perbedaan perlakuan tentu akan memantik rasa ketidakadilan. Jadi, ada beberapa penyandingan yang tidak tepat untuk penangguhan tahanan pada perempuan berhadapan dengan hukum sebagai tersangka dengan terpidana.” Beliau juga menambahkan bahwa, “Keputusan pihak kepolisian pada kasus PC adalah justru keputusan yang semestinya, bukan pengistimewaan”. Namun, apakah sikap ini juga berlaku bagi kasus lainnya?

 

Pada Februari 2021 lalu, empat orang ibu di Kopang, Lombok Tengah menjadi tersangka lantaran melempari atap-atap pabrik rokok yang mengakibatkan mereka dijerat dengan Pasal 170 Ayat (1) KUHP. Ketika mereka masih berstatus sebagai tersangka, keempat ibu tersebut tetap fair menjalankan penahanan meskipun dua dari empat ibu tersebut memiliki anak balita. Dalam kasus ini, polisi tetap melakukan penahanan sehingga pada saat itu sempat beredar foto tatkala salah satu ibu yang menjadi tersangka membawa anak balitanya di rutan. Tidak ada perlakuan istimewa dan tidak ada teriakan pembelaan dari Komnas Perempuan dalam kasus ini.

 

Selanjutnya, bergeser ke Papua. Sayang Mandabayang selaku mantan kader Perindo juga mengalami nasib yang sama. Ketika menjadi tersangka dalam kasus pengibaran bendera bintang kejora yang mengakibatkan dirinya terjerat pasal makar, ia tetap menjalani penahanan meskipun masih memiliki anak berusia enam bulan. Sekali lagi, dalam kasus ini tidak ada teriakan aktivis Komnas Perempuan dan juga uluran tangan pihak Kepolisian.

 

Dari ketiga kasus tersebut, dapat kita lihat bagaimana privilege yang dimiliki seseorang karena pengaruh dan kekuatan yang mereka miliki. Seolah penerapan sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" memiliki syarat dan ketentuan yang berlaku. Apa saja syarat yang harus dimiliki untuk dapat memperoleh keadilan di Indonesia? Tentu saja privilege kekuatan dan pengaruh di sebuah instansi merupakan salah satu modal utama yang harus dimiliki. Lihat saja kasus-kasus besar yang menjerat beberapa tokoh penting di Indonesia. Pembelaan atas nama kemanusiaan bahkan pemotongan masa tahanan merupakan hal yang lumrah kita saksikan di negeri tercinta ini.

 

Bergeser dari PC, beberapa bulan terakhir ini publik juga dibuat bertanya- tanya dengan pemotongan masa tahanan beberapa koruptor. Sebut saja Jaksa Pinangki yang pernah menyita perhatian publik beberapa tahun lalu. Jaksa yang menjadi tersangka suap Joko Chandra ini mendapatkan pemangkasan vonis dari sepuluh tahun menjadi empat tahun. Diskon lima puluh persen lebih! Bayangkan! Kini, jaksa yang pernah mendadak berhijab syar'i di tengah persidangan telah dinyatakan bebas bersyarat. Seorang jaksa yang seharusnya menjadi wakil negara untuk memberikan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi justru hidup mewah menikmati uang hasil suap dan bebas begitu saja. Sungguh sebuah ironi menyedihkan mengingat Indonesia adalah negera ber-Tuhan, tetapi mengapa penegakkan hukum di Indonesia seakan mendewakan setan? Ketidakadilan terpampang begitu jelas di muka publik sebagai sebuah hal lumrah. Kini, kami melihat sebagian besar penegak hukum seakan telah menjelma menjadi genie bagi para kriminal berduit yang dengan password terkenalnya yaitu “your wish is my command".

 

Begitulah gambaran keadilan yang ada di negeri kita tercinta, dari realita yang terjadi dalam kehidupan bernegara. Maka dari itu, pembaca sepertinya telah paham mengenai tips and trick untuk mendapatkan keadilan di Indonesia. Persetan dengan kebenaran yang kita miliki untuk memperoleh keadilan. Sepertinya hukum di Indonesia telah menjadi sebuah bisnis bernilai materi yang tentu saja tidak gratis untuk bisa mendapatkannya.

 

 

Penulis: Naufal Alif Hendriawan

Editor: Sal Sabillah Nur Aisyah

Sumber gambar: matabandung.pikiran-rakyat.com