gemakeadilan.com -
Kasus suap lagi-lagi terjadi. Yang
bikin geleng-geleng kepala, tempat kejadian perkara berada di mana tunas
bangsa tumbuh dan berkembang, yaitu instansi pendidikan. Penyuapan yang
‘aktornya’ baru diumumkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Minggu
(21/8) lalu secara nyata telah membuat masyarakat Indonesia marah. Bagaimana
tidak? Perbuatan yang tercela ini telah dilakukan oleh tenaga pendidik tanpa
rasa malu atas jabatan yang mereka sandang. Tak tanggung-tanggung, uang sejumlah
milyaran rupiah telah mereka kantongi dari para orang tua calon mahasiswa yang
gelap mata demi mendapatkan pendidikan yang diidamkan untuk anak mereka. Aktor
yang telah memanfaatkan keputusasaan orang tua mahasiswa bukanlah Reza
Rahardian ataupun Nicholas Saputra, melainkan Rektor Universitas Lampung
(Unila) yaitu Prof. Dr. Karomani dengan ketiga rekannya, yakni Heryandi selaku
Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila, Muhammad Basri selaku Ketua Senat Unila,
dan Budi Utomo selaku Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat Unila.
Sebagai
dalang dari penyuapan ini, Karomani menyalahgunakan kewenangannya dalam
pelaksanaan Seleksi Mandiri Masuk Universitas Lampung (Simanila) Tahun Akademik
2022/2023 dengan memerintahkan Heryandi, Budi Sutomo, serta Muhammad Basri untuk
melakukan penyeleksian personal terkait kesanggupan orang tua mahasiswa yang
ingin dinyatakan lulus. Tentu persyaratan yang harus dipenuhi agar anak mereka
bisa menjadi seorang mahasiswa Unila bukanlah sehat jasmani dan rohani,
melainkan harus menyerahkan sejumlah uang yang nilainya bervariasi setelah
pembayaran uang resmi. Dalam
pengumpulan uang haram ini, Karomani
memerintahkan Mualimin yang merupakan seorang dosen.
Penyuapan
yang dilakukan kepada Rektor Unila periode 2020-2024 tersebut tentu bukanlah satu-satunya
kasus yang terjadi di lingkup instansi pendidikan. Di antara Perguruan Tinggi
yang tersebar di seluruh daerah Indonesia, sudah pasti terdapat kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh beragam
‘aktor’ dengan peran yang variatif. Padahal, instansi pendidikan sendiri
bukanlah suatu tempat yang bisa dengan mudahnya dikotori dengan perbuatan-perbuatan
tercela.
Menurut
salah satu Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Kartika Widya Utama,
SH. MH., dalam salah satu pertemuan di mata kuliahnya, disebutkan bahwa
pendidikan merupakan salah satu alat untuk mencegah kejahatan. Pendapat
tersebut diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yang mana telah dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat 1,
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, kasus ini menimbulkan
pertanyaan besar mengenai mengapa kejahatan bisa terjadi di tempat
penyelenggaraan kegiatan pencegahan terjadinya kejahatan? Bahkan, tak jarang
bahwa penyimpangan tersebut dilakukan oleh para orang tua calon penerima
pendidikan.
Tak sedikit
dari mereka yang rela mengeluarkan uang dengan nominal fantastis demi
mendapatkan bangku universitas untuk
anak-anaknya. Fenomena tersebut mengherankan sebab setiap insan manusia khususnya
anak-anak, memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Selain itu,
ketersediaan Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia per 2022 berdasarkan data yang
diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) ialah sejumlah 3.115 PT yang telah
tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Maka, apabila seorang anak dinyatakan tidak
lulus seleksi pada universitas pilihan utama, masih terdapat pilihan-pilihan PT
lainnya yang dapat ditempuh secara legal. Selain itu, tidak seharusnya orang
tua mengabaikan tujuan dari menempatkan anaknya ke dalam instansi pendidikan
khususnya Perguruan Tinggi, yaitu tak hanya untuk menjadikan anak sebagai orang
yang berilmu dan terampil, melainkan juga beradab, berintegritas tinggi, serta
berakhlak mulia.
Walaupun
orang tua merupakan tempat pertama seorang anak belajar mengenai karakter,
tetapi bukan berarti mereka adalah satu-satunya aktor yang berperan penting
dalam mewujudkan karakter yang baik untuk anak. Seorang anak seharusnya juga harus
memiliki kesadaran untuk menumbuhkan karakter berintegritas dari dirinya
sendiri. Khususnya di lingkup Perguruan Tinggi, tak sedikit mahasiswa yang
melakukan kecurangan-kecurangan seperti menyewa joki tugas atau ujian, metitip absen, menyontek ketika ujian
berlangsung, datang kuliah terlambat, dan beragam kebiasaan buruk lainnya. Walaupun
sering dianggap remeh dan tidak berbahaya, tetapi kebiasaan buruk yang terus
dipupuk dan dibiarkan bertumbuh tentu akan memengaruhi karakter yang nantinya
akan tampak saat mahasiswa tersebut lulus dari universitas, sebab integritas
diri tidak lahir secara instan. Maka dari itu, untuk memiliki integritas diri,
mahasiswa dianjurkan untuk tidak
meremehkan hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup. Membiasakan diri untuk
meyakini nilai yang benar, berlatih untuk jujur, serta selalu mengontrol diri
agar selalu selaras dengan tujuan hidup dan standar moral yang dimiliki, merupakan
beberapa cara untuk menumbuhkan integritas. Tentunya hal tersebut harus
dilakukan secara konsisten. Integritas yang mengakar kuat dalam diri secara
pasti tidak akan menggoyahkan seseorang, walaupun diiming-imingkan harta maupun
kekuasaan.
Penulis:
Aqila Salsabilla
Editor: Adri Siregar
Sumber Gambar: indopos.co.id