img-post

gemakeadilan.com –  Koruptor namun disanjung bak pahlawan dan mendapat remisi  sampai diberi karpet merah merupakan gambaran dari seorang Anas Urbaningrum yang namanya kembali mencuat ke publik akhir-akhir ini. Ia terbukti melakukan gratifikasi bermacam aset mewah di Proyek Hambalang tetapi disambut dengan sorak sorai oleh keluarga maupun barisan loyalisnya kala ia keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin pada Selasa (11/4) lalu.


Kali pertama Anas Urbaningrum disebut menerima gratifikasi bersumber dari ‘nyanyian’ lakon bernama Nazaruddin, bendahara Partai Demokrat yang didakwa menerima suap proyek Wisma Atlet Hambalang dengan masa hukuman 13 tahun penjara. Di tengah pelariannya ke Singapura pada tanggal 21 Juli 2011, Nazaruddin menyebar pesan singkat melalui via aplikasi BlackBerry Messenger ke sejumlah orang dengan menyebut bahwa Anas Urbaningrum mendapatkan gratifikasi berupa mobil Alphard Vellfire, Camry, dan Harrier B-15-AUD dari suap proyek Hambalang. Tak hanya itu, menurut pengakuan Nazaruddin Anas juga mendapatkan uang sebesar Rp 50 miliar dari PT. AK sebagai balas budi lantaran ia sudah membantu memenangkan tender proyek tersebut.


Di bawah komando Busyro Muqoddas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak tergesa menanggapi ‘nyanyian’ Nazaruddin. Barulah saat di era Abraham Samad pada tahun 2013, KPK menjemput Anas. Bukti lain yang membuat KPK yakin akan keterlibatan Anas ialah keterangan yang tercantum pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dengan terdakwa M. Nazaruddin, perkara No. 69/Pid.B/TPK/PN.JKT.PST tertanggal 20 April 2012. 


Proses hukum terhadap Anas pun berlanjut di meja hijau. Pada September 2014, dalam Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 55/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghukum Anas 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Anas dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya. Namun, vonis itu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yang meminta dia dihukum 15 tahun penjara dan uang pengganti Rp 94 miliar serta 5,2 juta dollar AS.


Tak terima atas vonisnya, Anas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pada Februari 2015, majelis hakim banding memutuskan memangkas hukuman Anas selama 1 tahun menjadi 7 tahun penjara. Namun, Anas tetap didenda Rp 300 juta. Kendati dijatuhi hukuman yang lebih ringan, Anas masih tak puas. Dia mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada Juni 2015, MA menyatakan menolak permohonan Anas. Majelis hakim kasasi yang kala itu dipimpin oleh Artidjo Alkostar pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1261 K/Pid.Sus/2015 justru menjatuhkan vonis 14 tahun penjara ke Anas Urbaningrum. 


Namun, lima tahun berselang, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Anas. Pada September 2020, majelis hakim PK yang dipimpin Sunarto pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 246 PK/Pid.Sus/2018 memangkas hukuman Anas selama 6 tahun. Dengan demikian, hukuman Anas berkurang drastis dari pidana penjara 14 tahun menjadi 8 tahun saja. Namun begitu, Anas tetap dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 57,9 miliar dan 5.261.070 dollar AS. Selain itu, Majelis Hakim PK tetap menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah Anas menyelesaikan pidana pokok.



Bukti itu juga diperkuat dengan vonis Pengadilan Tinggi Jakarta No. 31/PID/TPK/PT.DKI tertanggal 8 Agustus 2012. Di dalam buku "Bocor-Bocor Duit Negara (2015)" milik Ismantoro Dwi Yuwono, duit suap yang diterima Anas itu dipergunakan untuk memenangkan kursi Ketua Partai Demokrat di Bandung. 


Akan tetapi, dengan semua bukti-bukti tersebut Anas masih tidak terima dengan semua tuduhan yang ditujukan padanya. Anas menuduh dan mengatakan bahwa KPK bergerak dengan cara politis. Dalam komunikasi politik, langkah Anas biasa disebut playing victim (merasa menjadi korban) yang bertujuan untuk melawan balik tuduhan yang diarahkan pada dirinya.


Ironisnya, setelah selesai menjalankan masa hukumannya, Anas resmi keluar dari Lapas Sukamiskin Bandung pada Selasa, (11/4) dengan disambut ribuan pendukungnya. Setelah ia keluar dari pintu Lapas Sukamiskin, Anas memberikan pidato singkat di hadapan semua pendukung yang menyambutnya. Pidato Anas tersebut disambut teriakan yel-yel dari anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang hadir untuk menyambut kebebasan Anas dari Lapas Sukamiskin setelah Anas dipenjara selama 9 tahun. 


Tak hanya dengan cara itu, kader-kader HMI juga menyuarakan pembelaan terhadap Anas di kolom komentar Instagram pada postingan di akun-akun HMI dan memposting terkait kebebasan Anas Urbaningrum di media sosial. Ketika seorang warganet memberikan komentar agar sebaiknya jangan membela Anas yang terbukti bersalah atas kasus korupsi, komentar tersebut lantas ditanggapi oleh pendukung Anas dengan akun @wildanmuhammad96_ dengan kata  “kalau bukan keluarga besar HMI. DIAM!”. Perilaku tersebut sama saja dengan mendukung seorang koruptor yang merupakan perampok uang negara. Kader HMI yang mendukung koruptor tersebut berarti sama saja telah menyalahi tujuan HMI, yakni “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat yang adil makmur yang di ridhoi Allah SWT”.


Sambutan sukacita yang diberikan pada Anas Urbaningrum itu menjadi sebuah tanda tanya dalam benak salah seorang aktivis Pro Demokrasi (ProDem), yaitu Adamsyah Wahab atau kerap yang disapa dengan Don Adam. Hal itu dikarenakan Anas menjalani hukuman bukan karena membela hak-hak rakyat, memperjuangkan rakyat ataupun berkorban demi rakyat. Akan tetapi, Anas dipenjara karena korupsi atau merampok uang yang seharusnya menjadi hak pelayanan bagi rakyat. Seharusnya ia tidak disambut dengan baik bak pahlawan.


Di sisi lain, muncul isu bahwa Anas telah dikriminalisasi oleh KPK. Dalam suratnya yang baru-baru ini ia tulis di dalam Lapas Sukamiskin,  Anas Urbaningrum menuliskan tentang kezaliman dan kriminalisasi yang dialaminya. Terkait hal tersebut, Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Gede Pasek Suardika mempersilahkan publik untuk menafsirkan sendiri maksud dari surat Anas tersebut. 


Mungkin hal inilah yang membuat publik terpecah menjadi dua kubu, yakni kubu pendukung Anas yang menyambut kebebasan Anas dari Lapas Sukamiskin dan kubu yang menentang sambutan atas kebebasan Anas. Walaupun begitu, dengan berbagai bukti yang ada dan berdasarkan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, Anas sudah terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, tak pantas rasanya mengelu-elukan seorang yang telah terbukti melakukan korupsi. 



Penulis: Jihara Naila Rifda

Editor: Agistya Dwinanda

Sumber gambar: antaranews.com