gemakeadilan.com- Persidangan dengan agenda Pembacaan Nota Pembelaan/Pledoi oleh terdakwa kasus perusakan saat Aksi Tolak Omnibus Law kembali digelar di Pengadilan Negeri Semarang pada Selasa (4/5). Persidangan ini merupakan sidang atas empat mahasiswa yang dijerat hukum saat mengikuti Aksi Mahasiswa Tolak
Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Tengah pada Oktober tahun lalu. Empat mahasiswa tersebut masing-masing terdiri atas satu mahasiswa Universit Diponegoro dengan inisial IHA, satu mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro dengan inisial MAM, dan dua mahasiswa Universitas Islam Sultan Agung yang berinisial IRF dan NAF. Secara rangkaian, persidangan ini merupakan persidangan lanjutan setelah sebelumnya keempat terdakwa telah menjalani proses persidangan pembacaan tuntutan oleh jaksa yang pelaksanaanya dibagi menjadi dua waktu yang berbeda. Berdasar penuturan Penasihat Hukum terdakwa, hasil persidangan tersebut mengungkap bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak bisa memberikan bukti yang kuat terhadap pengerusakan yang dilakukan oleh empat mahasiswa tersebut.
Atas diadakannya persidangan, beberapa rekan mahasiswa dari
Unnes, Unissula, Undip, dan Udinus juga ikut membantu mengawal kembali
rekan-rekan mereka yang dianggap telah dikriminalisasi.
Saat pelaksanaan pengawalan, pihak aparat dan petugas
keamanan pengadilan sempat tidak mengizinkan rekan-rekan mahasiswa untuk masuk
ke daerah pengadilan dengan alasan protokol kesehatan dan ditakutkan mengganggu
jalannya proses persidangan. Akan tetapi, setelah melakukan negosiasi dan lobbying, rekan-rekan mahasiswa akhirnya
diperbolehkan masuk ke dalam wilayah pengadilan dengan catatan tidak melakukan
hal-hal yang dapat mengganggu jalannya proses persidangan.
Pada saat proses Persidangan, Penasihat Hukum terdakwa
membacakan Nota Pembelaan/Pledoi kepada Majelis Hakim secara bergantian. Dalam
nota pembelaannya, ia mengatakan bahwa
perbuatan terdakwa seharusnya tidak sampai ke pengadilan, karena yang dilakukan
oleh mahasiswa tersebut adalah memperjuangkan demokrasi. Ia juga mengatakan
bahwa Penerapan Pasal 216 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP dinilai tidak
tepat.
“Penerapan Pasal 216 KUHP jo Pasal 55 KUHP merupakan hal
yang tidak tepat, karena perbuatan terdakwa adalah perbuatan murni
memperjuangkan demokrasi, hal ini juga telah dibuktikan dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, dalam Asas Hukum Pidana terdapat Asas Lex Spesialis Derogat Legi Generali yang artinya undangundang yang
bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum, yang dalam
hal ini adalah KUHP,” ujar Penasihat Hukum terdakwa.
Beliau juga mengatakan bahwa apa yang dilakukan terdakwa
bukanlah melawan penyelenggara negara. Akan tetapi, berdasarkan situasi saat
itu ribuan massa aksi menyebabkan terdakwa menjadi tidak bisa mendengar
apa yang dikatakan oleh penyelenggara
negara saat itu. Ia juga kembali menguatkan bahwa apa yang dilakukan oleh
mahasiswa tersebut sudah dijamin oleh undang-undang. Maka, sejatinya apa yang
dilakukan tidak harus sampai ke pengadilan.
.
Selain pembelaan, Penasihat Hukum terdakwa juga memberikan
penjelasan mengenai kejanggalan-kejanggalan pada saat proses peradilan.
Kejanggalan tersebut diantaranya adalah pada proses pembuktian. Ia menilai
bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak bisa memberikan bukti yang jelas kepada majelis
hakim terhadap perbuatan terdakwa.
“Faktanya para terdakwa tidak menyerang kehormatan petugas,
tidak menghina petugas sebagai penyelenggara negara, serta tidak melakukan
hal-hal yang merupakan bagian dari tuntutan petugas berdasarkan undang-undang
yang ada,” tambah Penasihat Hukum.
Di akhir persidangan, Penasihat Hukum terdakwa meminta
kepada majelis hakim agar dapat membebaskan semua terdakwa dari semua tuntutan
hukum.
Penulis:
Brian Nando & Leonard Marcel
Editor:
Muhammad Ridho