Tak
ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni.
Dirahasiakannya
rintik rindunya kepada pohon berbunga itu.
Sulit untuk menyangkal
bahwa sepenggal baris puisi diatas merupakan salah satu karya terbaik milik Supardi
Djoko Damono yang sering kali dikutip ketika hujan di bulan Juni. Kepandaiannya dalam menuliskan hal-hal
romantis dan sederhana namun penuh makna kehidupan membuat karyanya tidak hanya
dinikmati oleh para penikmat puisi, tetapi juga oleh orang yang tidak menikmati
puisi SDD. Meskipun sajak
pertamanya ia tulis di tahun 1969 dan
namanya sudah dikenal dalam lingkup sastrawan, akan tetapi karier kepenulisannya
mulai di kenal masyarakat luas melalui karyanya yang berjudul Hujan Bulan Juni
pada tahun 1994. Puisi Hujan Bulan Juni merupakan kumpulan puisi yang kemudian
berkembang menjadi sebuah novel trilogi. Kumpulan puisi yang memuat 102 puisi ini telah dialihbahasakan ke dalam 4
bahasa yakni Inggris, Jepang, Arab, dan Mandarin. Seiring berjalannya waktu,
Hujan Bulan Juni semakin akrab dikenal publik dengan diadaptasinya novel
tersebut menjadi sebuah film layar lebar.
Yang
fana adalah waktu.
Kita
abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Kepiawaiannya dalam
dunia sastra sudah dibuktikan lewat sederet penghargaan bergengsi yang ia
terima, seperti anugerah SEA Write Award
pada 1986, penghargaan Achmad Bakrie pada 2003, dan Anugerah Budaya (Cultural
Award) dari Australia pada 1978. Selain itu, pada 2018 lalu, Sapardi mendapat
penghargaan Anugerah Buku ASEAN (ASEAN Book Award) untuk bukunya yang berjudul
Hujan Bulan Juni dan Yang Fana Adalah Waktu. Penghargaan tersebut SDD terima
pada April 2018 di Kuala Lumpur, Malaysia dalam acara Kuala Lumpur International
Book Fair yang diselenggarakan oleh Putra World Trade Center. Sapardi termasuk
dalam daftar sastrawan Indonesia yang banyak memberikan sumbangsih bagi
kesusasteraan Tanah Air. Bahkan beliau juga telah menerjemahkan banyak buku
asing di antaranya yang paling terkenal adalah Lelaki Tua dan Laut (The Old Man
and the Sea karya Ernest Hemingway) dan Dimensi Mistik dalam Islam (Mystical
Dimension of Islam karya Annemarie Schimmel). Selain itu, ada pula beberapa
tajuk buku puisi karya Sapardi Djoko Damono yang di antaranya yaitu mata Pisau
(1974), Hujan Bulan Juni (1994) dan sebagainya.
Hatiku
selembar daun melayang jatuh di rumput
Nanti
dulu biarkan aku sejenak terbaring di sini
ada
yang masih ingin kupandang yang selama ini senantiasa luput
Sesaat
adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi
Semasa hidupnya SDD
tidak hanya aktif menulis karya sastra tetapi juga aktif dalam pengembangan
kesusasteraan Indonesia. Lulusan UGM ini juga pernah menjabat sebagai Dekan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada tahun 1999-2004 dan pernah mengajar di berbagai universitas
baik negeri maupun swasta. Kini, sastrawan Sapardi Djoko Damono telah
beristirahat dengan tenang di tempat peristirahatnya. Sang pujangga tersebut
menghembuskan napas terakhirnya pada Minggu (19/7/2020) pukul 09.17 WIB akibat penurunan fungsi organ. Kehilangan
sosok sastrawan kebanggan Indonesia itu meninggalkan duka mendalam bagi para
penikmat karya-karyanya. Beliau mengajarkan bahwa tak perlu majasberlebihan,
Sapardi mampu memberikan makna dari kata-kata sederhananya tetapi bisa
menyentuh perasaan pembacanya. Dan membuat pembaca menyelam jauh ke dalam
kata-kata yang ia buat.
Selamat jalan Sapardi
Djoko Damono
Karyamu akan selalu Abadi
Penulis: Naura
Sumber Foto : Tribunnews