Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengalami berbagai cobaan dan ujian dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Lembaga ini sering kali harus berhadapan dengan berbagai kepentingan yang ingin melumpuhkan upaya KPK dalam pemberantasan korupsi. Masih terbekas dalam ingatan penulis soal kasus cicak lawan buaya yang terjadi beberapa tahun silam. Kasus tersebut merepresentasikan adanya upaya pelemahan KPK oleh Polri yang menetapkan beberapa pimpinan dan pegawai komisi antirasuah tersebut sebagai tersangka dalam sejumlah kasus yang dianggap oleh sejumlah kalangan hanyalah kasus yang direkayasa. Ada pula revisi terhadap Undang Undang KPK yang memunculkan kemarahan dan kecaman publik (termasuk mahasiswa) karena sejumlah pasal di dalamnya dianggap melemahkan KPK dalam menjalankan
tugasnya.
Untungnya, KPK masih bisa lolos dari rentetan upaya pelemahan. Berkali-kali lembaga yang banyak disayangi publik ini masih mampu mengungkap berbagai kasus korupsi baik dalam skala besar seperti kasus Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) dan dana bantuan sosial (bansos) maupun dalam skala yang lebih kecil seperti kasus jual beli jabatan di sejumlah wilayah. Pejabat publik dari tingkat pusat hingga daerah silih berganti datang ke gedung merah putih baik dipanggil sebagai saksi maupun tersangka. Mulai dari yang datang dengan percaya diri hingga datang dengan kepala menunduk akibat terjerat operasi tangkap tangan.
Gemerlap pemberantasan korupsi tampaknya membuat wajah sejumlah pihak merah padam, bisa saja kesal karena KPK masih berdaya atau takut perbuatan kotornya terendus para penyidik handal KPK. Akan tetapi, semua kegelisahan para tikus pemakan uang negara tampaknya akan segera berakhir. Kegemilangan KPK dalam menangani kasus korupsi juga tampaknya akan berakhir seiring dengan diadakannya Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap anggota KPK sebagai syarat untuk dapat diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
TWK membuat KPK kini tengah berada dalam masa-masa sulit. Jika diibaratkan sebagai seorang pasien di rumah sakit, kondisinya kritis terbaring di kasur dalam keadaan tidak berdaya karena obat yang dimasukkan oleh para dokter ke dalam tubuhnya. Tujuannya adalah untuk menyehatkan tubuh KPK yang dinilai punya banyak penyakit. Namun, obat tersebut justru berubah menjadi racun yang memperburuk kondisinya. Para dokter telah lepas tangan, tidak ingin berbuat banyak untuk membantu KPK. Sementara itu, keluarga besar, rekan, dan masyarakat hanya bisa menatap lirih dan meminta tolong tanpa bisa berbuat banyak. Pertanyaannya, bagaimana bisa TWK menjadi racun bagi KPK?
TWK merupakan salah satu dari serangkaian tes yang dilakukan kepada seluruh pegawai KPK sebelum ditetapkan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Alih status pegawai KPK menjadi PNS merupakan konsekuensi dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Diadakannya TWK idealnya memiliki tujuan yang baik. Dilansir dari laman Badan Kepegawaian Nasional, TWK dilakukan untuk dapat mengukur tingkat keyakinan dan keterlibatan mereka dalam proses berbangsa dan bernegara. Sementara itu, aspek yang digunakan dalam tes kali ini yaitu integritas, netralitas ASN, dan antiradikalisme.
Secara teori, TWK terdengar baik dan memang punya tujuan awal yang baik pula, yaitu untuk menciptakan ASN yang berkualitas dan setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Akan tetapi, hasil TWK menetapkan 75 pegawai KPK tidak lolos tes sehingga tidak memenuhi syarat untuk bisa dilantik menjadi PNS. Status pegawai yang tidak memenuhi syarat kemudian diubah seiring munculnya kritik dari masyarakat. Dilansir dari Kompas.com, dari 75 pegawai tersebut, 51 pegawai diberhentikan karena dinilai tidak bisa dibina lagi, sedangkan 24 pegawai akan dibina kembali.
Keputusan di atas menurut batin penulis telah sangat menghina para pegawai KPK. Bagaimana tidak? Tidak sedikit dari mereka yang telah bertahun-tahun bekerja di KPK untuk memberantas korupsi malah mendapat cap merah dan dinyatakan tidak bisa lagi dibina. Penulis merasa komitmen mereka terhadap NKRI tidak perlu ditanyakan lagi jika melihat banyaknya kasus korupsi yang dapat diungkap KPK. Separah atau seradikal apa mereka sehingga tidak bisa lagi dibina? Bahkan teroris yang jelas-jelas terbukti secara hukum berusaha menghancurkan NKRI masih mendapat pembinaan untuk lepas dari pengaruh paham radikal. Perlakuan dan stigma terhadap para pegawai yang tidak lolos TWK juga tampaknya lebih buruk daripada koruptor. Mereka yang telah memakan uang rakyat dan menghambat masyarakat dalam menikmati pelayanan yang baik malah tidak pernah disebut sebagai orang yang tidak bisa lagi dibina. Padahal, kelakuannya sudah mencerminkan buruknya komitmen mereka terhadap bangsa dan negara.
Sementara itu, 24 pegawai lain yang masih dapat diterima -tetapi harus melalui pembinaan- juga dirasa tidak kalah mencoreng muka mereka. Tidak dapat dibayangkan jika para pegawai tersebut terlanjur mendapat cap sebagai orang yang tidak memiliki wawasan kebangsaan yang baik. Adanya TWK ini akan berakibat sangat buruk karena mental para pegawai pasti akan terguncang sehingga dapat memengaruhi kinerja mereka dalam upaya pemberantasan korupsi. Lagipula, dilansir dari detik.com, 24 pegawai anggota yang tidak lolos masih harus melalui pelatihan bela negara dan itu pun belum tentu diterima menjadi PNS. Hal itu menunjukkan mereka belum dijamin untuk kembali menjadi pegawai KPK walaupun mengikuti pelatihan bela negara.
Dari 51 pegawai yang diberhentikan karena tidak lolos tes ini, terdapat beberapa pegawai yang memiliki banyak pengalaman dan telah belasan tahun bekerja di KPK. Terdapat juga penyidik yang pernah dan tengah menangani kasus-kasus besar. Dari cnnindonesia.com, Penyidik KPK Novel Baswedan mengatakan pegawai KPK yang dinonaktifkan banyak menangani kasus-kasus korupsi besar. Kasus besar tersebut diantaranya terkait dana bansos, e-KTP, dan pencucian uang oleh mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.
Pegawai-pegawai handal dan berpengalaman yang diberhentikan pimpinan KPK tentu punya dampak besar terhadap KPK. Penyidikan dan penyelidikan suatu kasus harus dilakukan dengan cermat dan tidak semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan juga keahlian untuk dapat menemukan celah dari segala siasat yang disusun para koruptor. Dalam hal inilah peran seorang penyidik sangat dibutuhkan. Lalu, bagaimana jika para penyidik yang sudah berpengalaman tersebut diberhentikan? Dampak buruknya adalah KPK menjadi lumpuh. Tidak bisa berbuat banyak dan tidak lagi ditakuti oleh para pemakan uang rakyat. Bukan tidak mungkin, KPK akan semakin sulit mencari buronan kasus-kasus korupsi yang masih bebas berkeliaran di luar sana.
Sejumlah kalangan melihat TWK sebagai kedok untuk menyingkirkan sejumlah pihak yang giat memberantas korupsi dan menjamin kepentingan mereka. Selain dilihat dari siapa saja yang berhasil disingkirkan, dugaan ini juga dapat dilihat dari sejumlah pertanyaan yang diajukan dalam tes tersebut. Terdapat beberapa pertanyaan di dalam tes yang penulis anggap tidak memiliki relevansi dengan wawasan kebangsaan. Dilansir dari cnnindonesia.com, beberapa pertanyaan yang diajukan misalnya adalah “Siapa guru ngajinya?”, “Kalau pacaran ngapain aja?”, “Kenapa umur di atas 30 tahun belum menikah?”, hingga “Pilih Pancasila atau Al-Qur’an?”
Contoh pertanyaan di atas menurut penulis tidaklah berkaitan dengan wawasan kebangsaan. Apakah dari pertanyaan tersebut dapat diketahui apakah seseorang memiliki rasa cinta tanah air atau jauh dari radikalisme? Khusus untuk pertanyaan yang terakhir, yaitu Pancasila dan Al-Qur’an, bukanlah sesuatu yang bisa diperbandingkan seperti itu. Apakah jika seseorang lebih memilih Pancasila akan disebut nasionalis? dan jika memilih kitab suci umat Islam akan disebut tidak nasionalis? Penulis rasa tidak seperti itu cara pengambilan kesimpulannya. Alasannya, keduanya berada pada urusan atau koridor yang berbeda sehingga keduanya dapat dijalankan secara bersamaan dalam kehidupan. Dari contoh pertanyaan yang diajukan dalam TWK di atas, maka wajar jika publik bertanya-tanya tentang tingkat kebenaran hasil tes tersebut dan sudah seharusnya KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) menjelaskan persoalan ini secara jelas kepada publik.
TWK makin jelas terlihat sebagai racun bagi KPK setelah pernyataan Presiden Joko Widodo soal polemik pemberhentian pegawai KPK yang tidak lulus TWK muncul ke publik. Pernyataan presiden yang meminta TWK tidak dijadikan dasar diberhentikannya pegawai KPK serta tidak merugikan pegawai seolah tidak digubris. Baik pimpinan KPK maupun BKN seolah bersikukuh dengan keputusan mereka dengan alasan telah sesuai dengan peraturan yang ada. Tes ini memang diadakan dengan didasarkan pada sejumlah peraturan, tetapi yang dipermasalahkan publik adalah komponen pertanyaan yang dinilai janggal dan tidak relevan dengan tujuan TWK itu sendiri. Ironisnya, beberapa hari yang lalu, Istana melalui Kantor Staf Kepresidenan menyatakan lepas tangan dari persoalan KPK. Dikutip dari cnnindonesia.com, Moeldoko mengatakan Istana tak akan lagi ikut campur soal polemik TWK KPK. Menurutnya, persoalan itu saat ini jadi urusan internal KPK.
Publik banyak berharap keajaiban akan muncul untuk menyelamatkan marwah KPK. Namun sayangnya, nasib baik tampaknya belum menaungi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pasalnya, tepat tanggal 1 Juni 2021 lalu, ketua KPK, Firli Bahuri resmi melantik pegawai KPK yang telah diumumkan lolos sebelumnya menjadi PNS. Tentu ini juga menjadi simbol tidak digubrisnya permintaan sejumlah pihak termasuk para pegawai KPK yang lolos untuk menunda pelantikan anggota KPK menjadi PNS.
KPK jelas sedang tidak baik-baik saja. Saat ini lembaga antirasuah tersebut tengah melawan racun TWK yang hendak membuat tubuh KPK melemah dan tidak bisa berbuat banyak. Entah siapa yang merancang TWK untuk dapat merusak eksistensi KPK sampai sampai pernyataan seorang Presiden tidak diindahkan. Jangan sampai pemerintah atau lembaga yang senantiasa mendukung KPK di depan media malah menyakiti rakyat dengan lepas tangan, duduk manis di kursi empuknya, dan main mata dengan pihak yang mendukung lumpuhnya KPK. Perlu diharapkan juga adanya transparansi soal TWK dari pihak-pihak yang terkait agar berbagai hal yang selama ini dipertanyakan publik menjadi jelas. Mengapa? Sebab KPK bukan sekadar lembaga negara biasa, tetapi merupakan ujung tombak pemberantasan korupsi yang dicintai rakyat.
Penulis : Muhammad Galuh Wiryadi Afattar
Editor : Yovani Salsabiila Maydita
(Sumber gambar: RM.id)