gemakeadilan.com- Mengambil segala tindakan yang
dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan
jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi.”
Atas desakan dan permintaan MPRS untuk
menjelaskan peristiwa G30S, 11 Maret 1966 menjadi saksi atas dikeluarkannya
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) oleh Presiden/Panglima
Tertinggi/Pemimpin Revolusi/ Mandataris MPRS Ir.Soekarno kepada Mayjen Soeharto
yang isinya antara lain:
1.
Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk
terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan
jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk
keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti
segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
2.
Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan
Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.
3. Supaya
melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung
jawabnya seperti tersebut di atas.
Surat yang hingga kini tidak diketahui dimana letak
keberadaannya itu pada awalnya dikeluarkan Soekarno untuk mengatasi pergolakan
politik yang terjadi pasca G30S. Akan tetapi, pemberian kuasa yang besar kepada
Mayjen Soeharto tersebut justru menjadi bumerang yang menjadi awal dari
kejatuhan Sang Proklamator dari kursi kekuasaan.
Tidak perlu menunggu waktu yang lama, tepat satu hari
setelahnya (12 Maret 1966), Mayjen Soeharto dengan sigap mengambil sejumlah
keputusan penting melalui SK Presiden No 1/3/1966. Keputusan tersebut
berisi:
1.
Pembubaran PKI beserta ormasnya dan menyatakannya
sebagai partai terlarang,
2.
Penangkapan 15 menteri yang terlibat atau pun mendukung
G30S, dan
3. Pemurnian
MPRS dan lembaga negara lainnya dari unsur PKI, dan menempatkan peranan lembaga
itu sesuai UUD 1945.
Melihat tindakan orang yang diberi mandat tersebut, Soekarno lantas marah besar. Menurutnya,
Mayjen Soeharto telah melampaui wewenangnya sebagai pengemban Supersemar.
Penerjemahan makna Supersemar yang keliru lah yang menjadi alasan murkanya Sang
Proklamator, terutama ialah perihal pembubaran PKI.
Berdasarkan penuturan A.M Hanafi dalam bukunya “Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto: Dari
Gestapu ke Supersemar,” tepat dua hari setelah dikeluarkannya Supersemar,
Soekarno lantas mengeluarkan Surat Perintah Tiga Belas Maret (Supertasmar) yang
isinya merupakan koreksi dari penerjemahan Supersemar yang sebelumnya dianggap
keliru. Menurutnya, Supersemar merupakan perintah yang bersifat
administratif/teknis dan tidak politik, sedangkan tindakantindakan yang
dilakukan Mayjen Soeharto merupakan sebuah tindakan politik.
Hanafi yang merupakan mantan Duta Besar RI untuk Kuba lantas
disuruh Bung Karno untuk menghubungi beberapa orang guna menyebarkan surat
untuk membantah Supersemar. Sayangnya,
saat itu ia mengaku tidak lagi memiliki jalur untuk menyebarkannya.
Bahkan, Hanafi mengaku sempat menghubungi Mantan Panglima Angkatan Udara
Suryadharma. Namun, hal yang sama juga dikeluhkan oleh Suryadharma yang juga
mengaku bahwa dirinya tidak lagi punya saluran untuk menyebarkan surat perintah
baru dari Presiden Soekarno itu. Selain itu, lembaga-lembaga pers yang ada juga
seakan sepakat untuk tidak mau menyiarkan pesan dari Proklamator yang lahir
pada 6 Juni tersebut.
Alhasil, keberadaan surat itu
hingga kini masih menjadi misteri. Sebagaimana misteriusnya Supersemar,
Supertasmar juga tidak pernah ditemukan bukti otentiknya. Baik pihak Arsip
Nasional RI hingga Sekretariat
Negara mengaku tidak menyimpan dokumen tersebut.
Penulis : Ridho Redaksi
Sumber gambar : Kolase media.infia.co