img-post

gemakeadilan.com - Pada awal tahun 2023, terdapat beberapa partai politik (parpol) yang mendukung diselenggarakannya Pemilihan Umum (Pemilu) dengan sistem proporsional tertutup. Namun, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), pada Kamis (15/6) di Ruang Sidang Pleno MK berdasarkan pada Putusan MK nomor 114/PUU-XIX/2022. Artinya, penyelenggaraan Pemilu pada tahun 2024 mendatang akan tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.


Sebenarnya, apakah sistem proporsional terbuka itu? Dilansir dari laman tempo.co, sistem proporsional terbuka adalah adalah sistem Pemilu di mana pemilih mencoblos parpol atau calon legislatif yang bersangkutan. Dalam sistem ini. pemilih dapat langsung memilih calon legislatif yang dikehendaki untuk dapat duduk menjadi anggota dewan.

Sistem proporsional terbuka memiliki beberapa keuntungan dalam penyelenggaraannya. Secara legitimasi prinsip demokrasi, rakyat dapat memiliki hak pilih atas setiap individu yang pantas untuk menduduki kursi di lembaga legislatif. Bagi parpol, dampak positif yang dapat dirasakan dari sistem ini umumnya salah satunya dalam mempertahankan demokrasi internal yakni menguatkan kelembagaan parpol serta mendorong pelaksanaan fungsi-fungsi parpol. 

Hakim Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo, berpendapat bahwa sistem proporsional terbuka mendorong setiap kandidat untuk bersaing dalam memperoleh suara sebanyak mungkin untuk memperoleh kursi di lembaga perwakilan. Ini memungkinkan adanya persaingan sehat antar kandidat dan dapat meningkatkan kualitas kampanye program kerja calon legislatif, serta memungkinkan adanya kedekatan antara pemilih dengan yang calon yang dipilih karena pemilih secara bebas dapat langsung memilih wakil yang dianggapnya dapat mewakili kepentingan dan aspirasi mereka. 

Selain itu, dalam sistem ini pemilih memiliki kesempatan untuk melibatkan diri dalam pengawasan terhadap tindakan dan keputusan yang diambil oleh wakil yang mereka pilih. Dengan kata lain, rakyat dapat mengetahui secara jelas siapa wakil rakyat di daerahnya dan rakyat yang memilih juga dapat mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas suara mereka di parlemen nanti.

Di sisi lain, sistem proporsional terbuka ini juga memiliki beberapa rekam jejak kekurangannya tersendiri. Dalam artikel yang diterbitkan oleh Jurnal Trias Politika, disebutkan bahwa sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak memiliki potensi untuk memperlemah peran parpol sebagai sebuah institusi demokrasi dan juga dapat memperbesar potensi transaksi jual beli suara.  Lantaran kompetisi yang sangat  ketat antar calon, terjadi ketidakpastian akan prospek keterpili Kedekatan pemilih dengan yang dipilih bisa menjadi bumerang tersendiri dalam sistem proporsional terbuka. Pasalnya, rakyat pemilih mungkin saja memilih berdasarkan figur kandidat yang dirasa dekat atau populer, bukan berdasarkan kapasitas yang dimiliki oleh calon legislatif. Oleh karena itu hal ini bisa berdampak pada peran parpol yang akan melemah dikarenakan tidak lagi berfokus dalam memberikan pendidikan politik dan mencanangkan ide atau gagasan pada kandidat yang diusung karena hanya terpaku pada kepopuleran calon anggota yang akan diusung nantinya. Sedangkan bagi kandidat lain yang benar-benar ‘niat’ mencalonkan diri juga akan dirugikan, karena posisi yang diuntungkan paling banyak adalah orang yang memiliki tingkat popularitas tinggi di masyarakat.

Selain itu, sistem ini memerlukan modal politik yang cukup besar dalam proses pencalonannya karena sistem ini sangat rawan akan adanya praktek jual-beli suara untuk bisa memperoleh suara rakyat sebanyak-banyaknya. Hal ini tentu menjadi hambatan tersendiri bagi kandidat yang tidak memiliki sumber daya finansial yang cukup, sehingga merugikan bakal calon yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah untuk bersaing dan berpartisipasi dalam proses pemilihan. 

Berdasarkan analisis untung dan rugi dari sistem proporsional terbuka, menurut pendapat penulis penyelenggaraan sistem proporsional terbuka dapat berujung menghambat tujuan memperkuat demokrasi Indonesia. Hal itu karena faktor kepopuleran, pencitraan setiap bakal calon legislatif, dan penggunaan parpol hanya sebagai alat calon legislatif masih terlihat nyata dalam sistem ini.

Meskipun begitu, setelah melihat ‘untung-rugi’ dari sistem ini serta melihat melihat kondisi politik dan kepartaian Indonesia saat ini, di mana kepercayaan dari rakyat terhadap parpol maupun kader-kadernya masih rendah, rasa-rasanya putusan untuk menyelenggarakan sistem proporsional terbuka dinilai cukup tepat. Hanya saja harapannya pada Pemilu 2024 mendatang, parpol yang akan mengusung kadernya dalam Pemilu harus bisa mengusung kandidat sesuai dengan kapabilitasnya dan rakyat yang memilih juga harus pintar-pintar dalam memilih calon legislatif untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, dipercaya rakyat, dan sesuai dengan kepentingan rakyat.

Bagaimana menurut Anda sendiri?


Penulis:  Syauqina Fildzah Hanifa

Editor: Agistya Dwinanda

Sumber gambar: setda.dompukab.go.id