gemakeadilan.com-Adanya pandemi Covid-19, membuat sebagian besar rutinitas hidup dari kita berubah drastis. Namun, terlepas dari ketidakpastian dan rencana-rencana yang berantakan, pandemi Covid-19 mengajarkan kita berbagai hal. Salah satunya adalah belajar dekat dengan sederhana, cukup, dan berbagi. Tanpa disadari saat ini kita sedang belajar jadi minimalis,berdamai dengan cukup dan fokus pada apa yang penting untuk saat ini.
Sejatinya, gaya hidup minimalis
bukanlah seperti pakaian yang punya ukuran one
size fit all. Minimalis bagi setiap orang bisa sangat berbeda. Minimalis
bukan ajang perlombaan siapa yang punya lebih sedikit barang. Minimalis bukan
tentang angka. Minimalis adalah tentang ‘cukup ’dan fokus pada apa yang kita
butuhkan, bukan pada apa yang kita inginkan.
Kebutuhan esensial setiap orang
sejatinya berbeda-beda. Hal itu ditentukan oleh beberapa faktor, seperti usia,
gender, pekerjaan, hobi, cuaca, budaya, keluarga, dan lingkungan di sekitarnya.
Tidak masalah jika kita memiliki lima puluh, dua ratus, bahkan seribu barang
sekalipun yang terpenting barang itu
cukup dan tidak berlebihan untuk memenuhi kebutuhan kita. Kitalah yang harus
menentukan daftar kita sendiri, lalu menyesuaikannya dengan kepemilikan saat
ini. Proses inilah yang akan mengiringi kita mencapai kehidupan minimalis,
yaitu memiliki barang dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan, tak
lebih dari itu.
“If
you live for having it all, what you have is never enough.”
-Vicki Robin
Kutipan Vicki Robin membuat saya
menyadari bahwa setiap hari kita didorong untuk membeli berbagai barang agar
tampil lebih menarik dan lebih sukses. Bahkan seringkali kalimat itu muncul
bersamaan dengan dalih untuk meraih kebahagiaan tanpa batas. Lantas, bagaimana
jika ternyata kita menemukan bahagia dengan cukup?
Konsep minimalis membantu saya
memahami bahwa kita tidak perlu banyak hal untuk bahagia. Menjadi seorang
minimalis akan mengubah bagaimana cara kita berpikir. Minimalis akan mendorong
kita untuk memanfaatkan kreativitas yang kita miliki. Bagaimana caranya
mendapatkan lebih banyak makna dengan lebih sedikit barang. Kita akan belajar
memprioritaskan apa yang penting. Kita akan memutuskan apa yang harus dimiliki versus apa yang diinginkan. Hal itu
membantu saya menyadari bahwa hidup dapat disederhanakan tanpa mengorbankan
kualitas dari hidup itu sendiri.
‘Cukup’ adalah konsep yang sulit. ‘Cukup’
bagi kita belum tentu cukup bagi orang lain, begitupun sebaliknya. Saya setuju
kalau cukup berarti bisa memenuhi kebutuhan dasar, tetapi sayangnya masih ada
yang namanya ‘keinginan’ Keinginan inilah yang seringkali menjebak kita. Saat
hasrat keinginan tidak bisa dipenuhi oleh barang-barang yang sudah kita miliki,
kita akan cenderung ingin membeli lebih banyak barang yang pada akhirnya akan
berujung pada impulsif buying. Inilah
pentingnya untuk mengetahui pemicu dari setiap keinginan kita. Demi mengurangi impulsif buying, coba tanya pada diri
sendiri, apakah saya membutuhkannya? Apakah barang ini benar-benar bermanfaat
untuk saya? Apakah barang ini memberikan nilai lebih untuk saya? Apakah barang
ini harus segera saya miliki? Karena faktanya ketika semua kebutuhan dasar
terpenuhi, kebahagiaan kita tidak lagi ditentukan oleh jumlah barang yang kita
miliki. Kebahagiaan juga bukanlah tentang memiliki sesuatu, ini tentang
melakukan hal-hal yang lebih bermakna.
Kalau dulu, sebelum pandemi
Covid-19, kita terbiasa dengan mengoleksi kebendaan dan kebahagiaan sepertinya
lebih dekat dengan uang, sekarang saya merasa perspektif itu perlahan bergeser.
Kita sadar bahwa ternyata tidak beli baju baru atau barang-barang lucu tidak
masalah. Menahan diri untuk tidak pergi ke cafe
atau mall beberapa pekan juga
tidak masalah. Self care jadi tidak
harus dibarengi dengan keluarnya biaya yang banyak karena sekarang kita
terbiasa untuk lebih kreatif dan merayakan cukup, apa yang ada di rumah
diberdayakan, apa yang sudah ada mejadi begitu berarti. Pada akhirnya kita
sadar, bahwa kebahagiaan tidak selalu harus dibayar mahal dan dengan banyak
hal.
Di samping merayakan cukup,
menumbuhkan sikap penuh rasa syukur juga sangat berguna dalam cara hidup
minimalis. Jika kita bisa melihat bahwa hidup kita tidak kekurangan dan bisa
menghargai yang sudah kita punya, kita tidak akan menginginkan apa-apa lagi.
Kita akan fokus pada apa yang sudah ada, bukan pada apa yang kita tidak punya.
Dengan menerapkan konsep minimalisme berarti kitalah yang mengendalikan
barang-barang yang kita miliki. Kita yang menentukan ruang, fungsi, dan potensi
dari barang-barang itu.
Francine Jay dalam bukunya “Seni
Hidup Minimalis” menyebutkan bahwa barang yang kita miliki tidak mencerminkan
diri kita yang sesungguhnya. Saya rasa, dengan merayakan cukup dan mensyukuri
apa yang kita miliki sudah lebih dari cukup untuk mendatangkan kebahagiaan.
Kita bisa bahagia dengan cukup. Kita tidak akan pernah bahagia jika kita tidak
pernah merasa cukup. Pilihlah untuk memiliki cukup.
Selamat merayakan bahagia dengan
cukup~
Penulis: Nuri Fery Prasetyanti