img-post
Sumber gambar: detik.com

gemakeadilan.com- Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan sebuah negara demokrasi dimana keberadaan dari kebebasan berpendapat adalah sebuah aspek yang sangat penting. Kebebasan berpendapat dapat diperjelas sebagai sebuah kritikan atau penyampaian pendapat yang dilontarkan oleh seluruh elemen masyarakat dan ditujukan kepada seseorang atau suatu kelompok. Kritik dapat muncul dalam berbagai macam bentuk. Akan tetapi, kritik yang akan penulis bahas pada tulisan ini ialah kritik yang diberikan oleh masyarakat kepada pemerintah. 

Selama hampir 75 tahun bendera merah putih berkibar, banyak sekali kasus yang berawal dari pengekspresian pendapat justru berujung pada tindak kekerasan dan lebih parahnya lagi harus sampai pada pemidanaan. Tidak hanya satu atau dua kasus yang mengakibatkan masyarakat terluka saat menyampaikan aspirasinya. Nyatanya, pada periode Juni 2018 hingga Mei 2019, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menyebutkan bahwa tercatat 643 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Hal ini didukung oleh keberadaan hasil survei nasional Indikator Politik Indonesia tahun 2020 silam yang menyatakan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat menunjukkan bahwa aparat dianggap telah memperlakukan masyarakat dengan semena-mena ketika melakukan penangkapan pada orang-orang yang dianggap tidak sejalan dengan pendapat pemerintah. Oleh karenanya, maka dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan aparat tersebut merupakan representasi dari cara pemerintah dalam menanggulangi kritikan.

Mari kita kembali ke masa kelam pada awal tahun 2021 dimana presiden kita yakni Bapak Ir. Jokowi Widodo meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Menurut beliau, adanya kritikan ini berfungsi untuk mewujudkan pelayanan publik ke arah yang lebih baik. Tetapi timbul sebuah pertanyaan “Kritik bagaimana yang harus disampaikan jika ketika menyampaikan kritikan tersebut berujung pada tindak kekerasan?” Lucunya lagi, yang dikatakan oleh beliau dalam sambutan Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI tidak sesuai dengan realita yang sebenarnya.

Buktinya, sudah banyak aksi dengan tujuan menyampaikan aspirasi masyarakat justru mendapat penolakan. 

Selain itu, jika kita menilik pada beberapa pasal yang termuat dalam Undang-Undang ITE, beberapa pasal yang terdapat dalam UU tersebut membahas mengenai banyaknya regulasi yang justru mengekang dari adanya kebebasan berekspresi. Salah satunya seperti yang tercantum dalam Pasal 45 Ayat (1) mengenai muatan ancaman pidana sebuah kritikan yang dilontarkan lewat media sosial. Keberadaan salah satu dari seluruh pasal yang bermuat untuk membatasi kebebasan untuk mengemukakan pendapat inilah yang menjadi sangat dilematis bagi seluruh elemen masyarakat. Sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Damar Januarto, Direktur Eksekutif SAFEnet, “Kalau bersuara masuk penjara, sedangkan kalau tidak bersuara praktik terus ada.”  

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kasus yang sedang marak diperbincangkan yakni mengenai pemanggilan kepada beberapa mahasiswa Universitas Indonesia (UI) oleh Rektorat UI akibat salah satu unggahan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)  mengenai foto Presiden yang dijadikan meme dan diberi slogan “The King of Lip Service.” Unggahan tersebut dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap simbol negara yakni presiden. Sedangkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan secara eksplisit menyatakan bahwa yang termasuk kedalam simbol negara ialah bendera negara, lagu kebangsaan negara, lambang negara dan bahasa negara. Padahal, meme merupakan representasi sebuah kritik dalam bentuk seni rupa. Namun, muncul desas-desus bahwa hal tersebut dianggap sebagai penghinaan presiden. Akibatnya, unggahan tersebut kembali menuai kontroversi karena terdapat pengekangan hak dalam melakukan kritik aspirasi yang disampaikan.

Masyarakat yang awalnya kebingungan menjadi semakin bingung dengan adanya berita tersebut. Lalu, kritik yang bagaimana yang menurut para elite politik termasuk kedalam kritik yang tidak melanggar hukum? Sudah banyak aksi dengan tujuan menyampaikan aspirasi dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat, mulai dari menolak keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja hingga peristiwa yang masih hangat yakni peringatan May Day 2021. Apakah sampai saat ini sudah ada kepastian dari seluruh aspirasi yang diberikan? Pandangan penulis tidak demikian. Ketika aksi yang dilakukan di jalan tidak cukup menggugah perhatian para elite politik pemerintah maka wajar jika aksi penyampaian aspirasi tersebut dilakukan via media sosial yang ternyata lebih mampu menyentuh perhatian. Selanjutnya muncul pertanyaan baru: ada apa dengan pemerintah saat ini?

Tidak cukup sampai disana, ternyata aspirasi yang diberikan masih dianggap sebagai sesuatu yang salah selain dari keberadaan meme yang digunakan. Padahal, dalam unggahan tersebut telah dijelaskan bahwa keberadaan “The King of Lip Service” menggambarkan sosok pemimpin yang ramah dan pandai dalam bertutur kata namun tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Bukan tanpa bukti, referensi, dan kajian yang jelas. Tentunya membuat para pengkaji meme telah melakukan pertimbangan sedemikian rupa. 

Lantas, apa yang diinginkan oleh pemerintah? Jika seluruh kritik yang diberikan justru dianggap sebagai sebuah nistaan. Kritik memang menyakitkan, tetapi tanpa kritik pemerintah dapat menjadi otoriter. Bagaimana dengan pernyataan yang diberikan oleh Presiden Jokowi pada saat Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI? Bukankah beliau menginginkan sebuah kritikan? 

Duhai indahnya negeri ini, sebuah kritikan dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan menjadi hal yang tidak lazim. Mungkin kritikan yang diinginkan oleh para elite politik adalah kritikan yang di dalamnya terdapat sebuah solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu, seperti unggahan yang di-publish beberapa hari yang lalu dalam akun official Presiden menyatakan bahwa sebuah kritikan harus disampaikan dengan sebuah tata krama kesopanan. 

Tentunya, penulis sebagai bagian dari generasi penerus bangsa sangat mengharapkan makna yang sebenarnya dari tata krama yang diinginkan. Semoga tata krama yang dimaksud tidak hanya meliputi cara penyampaiannya tetapi juga meliputi cara agar kritik yang disampaikan tersebut dapat direncanakan secara baik dan sistematis. Penulis meyakini bahwa kritikan yang diinginkan oleh Presiden tentunya bukan hanya sekedar basa-basi melainkan sebuah revisi untuk mewujudkan negara yang berbakti.

 

Penulis: Alifannisa Akmalhadi

Editor: Dwi Puspita Sari