gemakeadilan.com – Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, baik hayati maupun non hayati. Salah satu contoh sumber daya alam yang melimpah adalah kelapa sawit. Maka, tidak mengherankan bahwa Indonesia dikenal oleh dunia sebagai penghasil kelapa sawit dan pengekspor minyak sawit mentah terbesar di dunia.
Kenyataan bahwa Indonesia adalah salah satu pengekspor minyak sawit mentah terbesar menjadi ironis jika kita sangkutkan dengan polemik yang sedang melanda tanah air kita akhir-akhir ini, yaitu melonjaknya harga minyak goreng. Dari sini muncul pertanyaan, bagaimana mungkin kelonjakan ini bisa terjadi? Logikanya, sebagai negara pengekspor minyak sawit tidak mungkin terjadi kelangkaan maupun pelonjakan harga minyak goreng yang tinggi di Indonesia. Tidak hanya harga yang melambung, tetapi juga terjadi penurunan subsidi minyak goreng.
Ada beberapa faktor umum yang mempengaruhi harga minyak kelapa sawit, yaitu permintaan, persediaan, harga minyak nabati lainnya (terutama kedelai), cuaca, kebijakan impor negara-negara yang mengimpor minyak kelapa sawit, dan perubahan dalam kebijakan pajak dan pungutan ekspor atau impor. Kepala Satgas Pangan Polri, Irjen Pol Helmy Santika, menyebutkan bahwa melonjaknya harga minyak goreng disebabkan oleh ulah spekulan yang menjual kembali minyak goreng diatas harga yang ditentukan. Padahal, Kementrian Perdagangan telah memberlakukan aturan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah hingga kemasan premium. HET minyak goreng yang berlaku mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit. Pemberlakuan HET tersebut membuat minyak goreng semakin langka karena banyak masyarakat yang membeli minyak goreng dengan jumlah yang cukup banyak. Penyebab lain melonjaknya harga dan kelangkaan minyak goreng adalah karena terhambatnya distribusi lantaran pelaku usaha mengurangi produksi. Selain itu, aksi pemborongan massal dan harga minyak sawit global yang melonjak tinggi membuat permasalahan semakin meluas.
Kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng tentu saja
menimbulkan dampak negatif bagi
negeri ini. Kerugian yang paling besar yang dirasakan oleh masyarakat
adalah dari sisi ekonomi. Menurut
Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), kerugian
ekonomi yang ditanggung oleh masyarakat akibat krisis lonjakan harga minyak
goreng mencapai Rp3,38 triliun. Krisis ini berdampak pada
kegiatan sehari-hari terutama
untuk kebutuhan memasak dan rumah tangga lainnya.
Pemerintah telah memberlakukan beberapa kebijakan untuk menangani masalah ini. Pertama, kebijakan pelarangan penimbunan minyak goreng
semakin diketatkan. Pemerintah
melakukan pengawasan dan penyelidikan agar tidak terjadi penimbunan karena adanya temuan sejumlah kasus
penimbunan minyak goreng di beberapa lokasi di Indonesia. Kedua, Kementrian Perdagangan (Kemdag) mengeluarkan
larangan atau pembatasan terhadap ekspor minyak sawit, palm olein, dan minyat
jelantah untuk menekan harga minyak goreng. Ketiga, pencabutan HET yaitu pemerintah membebaskan
penentuan harga minyak goreng ke mekanisme pasar. Pencabutan tersebut dianggap dapat mengatasi kelangkaan yang terjadi sebelumnya dan menjadikan
stok minyak goreng menjadi melimpah. Namun, harga minyak goreng semakin melonjak
tinggi.
Pemerintah telah memberlakukan berbagai regulasi, tetapi regulasi tersebut dirasa masih memiliki beberapa kekurangan. Pertama, pemerintah kurang tegas dalam pengimplementasiannya, contohnya
dalam pelarangan penimbunan. Realitanya banyak oknum yang melakukan penimbunan
minyak goreng baik untuk dijual kembali maupun untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga (memasak). Pemerintah seharusnya lebih selektif dalam mengatur dan mengawasi pembelian minyak goreng untuk mencegah penimbunan. Tindakan
yang lebih tegas juga harus diberikan terhadap pelaku penimbunan agar tidak
muncul oknum lainnya. Lebih baik lagi apabila implementasi berjalan sesuai
dengan peraturan yang pemerintah buat, dan tidak hanya sebagai regulasi di atas kertas saja. Kedua, keputusan yang dibuat pemerintah tidak mengatasi
masalah yang ada. Contohnya, kebijakan pencabutan HET dan membiarkan harga
sesuai mekanisme pasar dirasa kurang tepat karena kondisi daya beli yang belum
normal. Seakan-akan pemerintah angkat tangan untuk menstabilkan, mengintervensi,
dan mengatasi spekulasi pasar minyak goreng. Padahal dalam mekanisme pasar
dibutuhkan pemerintah yang dapat melindungi kebutuhan masyarakat, tetapi pencabutan HET dinilai malah semakin menekan masyarakat, khususnya konsumen kelompok
ekonomi menengah ke bawah. Selain itu, pemerintah juga belum memikirkan kondisi saat pencabutan HET diberlakukan. Kondisi subsidi minyak goreng yang melimpah dengan
harga yang melonjak hanya tersedia untuk minyak goreng dengan kemasan dan
premium yang mahal. Padahal subsidi minyak curah untuk kalangan masyarakat
menengah ke bawah
masih langka dan dengan harga yang masih melambung tinggi. Pemerintah seharusnya lebih jeli dalam merencanakan
dan mempersiapkan kondisi yang terjadi secara matang.
Penulis
mengharapkan agar pemerintah tetap
ikut dalam menstabilkan harga
minyak goreng dengan melakukan koordinasi untuk menyiapkan regulasi yang lebih ideal dan
memiliki fleksibilitas. Kebijakan yang baik juga diharapkan
dapat menjadi titik tengah antara produsen dan konsumen. Segala peraturan yang akan dibuat pemerintah diharapkan dapat diimplementasikan dengan baik.
Penulis:
Shella Amelia Putri
Editor:
Vanya Jasmine