img-post

gemakeadilan.com – Orang mana di Bumi Pertiwi ini yang tidak mengetahui sosok proklamator negaranya sendiri? Tentu kita semua familiar dengan dua sosok yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia serta mewakili seluruh warga negara Indonesia untuk terbebas dari penjajahan yang mengenaskan. Mereka adalah Soekarno dan Mohammad Hatta. Dua sosok tersebut sama hebatnya, sama beraninya, dan sama cintanya kepada Tanah Air ini. Menjadi tokoh pemimpin bangsa tentunya membuat nama mereka digaungkan oleh masyarakat, terutama Soekarno yang terkenal dengan panggilan Bung Karno. Popularitasnya menjadi buah bibir tidak hanya di kalangan warga negara Indonesia saja tetapi juga di kancah Internasional.


Sudah banyak narasi berisi perjalanan yang ditempuh Bung Karno, berkas-berkas yang memuat datanya, dan film-film yang mengisahkan alur hidupnya. Di antara sekian banyaknya cerita tentang beliau, terdapat satu film yang belum banyak diketahui orang-orang. Padahal film tersebut memuat kisah perjuangan beliau ketika diasingkan di Bumi Ende, Flores. Perjuangan itu sering luput dari kacamata kita maupun narasi-narasi media, tetapi perjuangan tersebut tidak pernah luput dalam cerita sejarah Indonesia.


Sepak terjang beliau dalam dunia perpolitikan memang sudah akrab dengan pengasingan dan pembuangan. Salah satu tempat yang pernah beliau singgahi dan menjadi bagian bersejarah bagi salah satu tokoh proklamator tersebut adalah kota kecil yang terletak di tengah-tengah pulau Flores yaitu Kota Ende. Cindy Adams, jurnalis asal Amerika, menulis autobiografinya yang berjudul "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia". Dalam Bab 15 tentang pembuangan sebagaimana dituturkan oleh Putra Sang Fajar tertulis, "Ende, sebuah kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh Gubernur Jendral sebagai tempat di mana aku akan menghabiskan sisa umurku."


Film ini memiliki latar belakang sekitar tahun 1930-an. Karena kegiatan politiknya dianggap meresahkan oleh pemerintah Belanda, Soekarno diasingkan ke Ende. Beliau turut membawa pergi Inggit Garnasih, yang saat itu merupakan istrinya dan juga ibu mertuanya Amsi. Kehidupan di masa pengasingan tentunya bukan persoalan mudah. Pada awal Soekarno tiba di sana, rakyat tidak berani bertegur sapa dengan beliau. Bahkan, sekedar ingin pergi ke tempat yang tidak jauh saja, Bung Karno mesti mendapat pengawalan dari polisi. Ini menggambarkan keadaan hidup Bung Karno yang sangat terkekang secara badaniah.


Namun, bukan Soekarno namanya kalau tidak mudah bersosialisasi dan beradaptasi. Seiring berjalannya waktu, Soekarno melakukan pendekatan dan adaptasi kepada masyarakat setempat. Upaya beliau dimulai dengan menyelenggarakan pengajian-pengajian. Selain itu, Soekarno banyak menghabiskan waktunya di sana dengan membaca di perpustakaan pastoran Ende. Beliau juga banyak berdiskusi dengan pastor Huytink, salah satu pastor yang beliau temui di sana. Pastor tersebut pernah mengatakan sebuah ramalan bahwa nanti di masa yang akan datang, Soekarno akan terpilih menjadi presiden.


Ketika hidup di pengasingan tersebut, Soekarno banyak memikirkan masalah yang ternyata akan sangat bermanfaat untuk kelangsungan hidup Indonesia ke depannya. Salah satu hal yang beliau pikirkan adalah konsep dasar negara, Pancasila. Dikarenakan hidup di pengasingan tidak mudah, belum lagi pikiran-pikiran Soekarno yang berat, kesehatan beliau pun menjadi taruhannya. Di saat itulah, Inggit menulis surat kepada M. H. Thamrin untuk minta bantuan supaya Soekarno segera dipindahkan. Berkat bantuan dari Thamrin, Soekarno akhirnya pindah ke Bengkulu setelah empat tahun di Ende.

Pelajaran hidup yang dapat kita ambil dari kisah nyata perjuangan Bung Karno di film ini sangatlah banyak dan penting untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya, pelajaran untuk tetap sabar dan tegar meskipun cobaan hidup terus mengejar, tetap menjaga silaturahmi dan berbuat baik kepada tetangga meskipun awalnya keberadaan kita tidak diinginkan, serta yang paling penting, tetap membela negara di tengah-tengah kesusahan yang dihadapi.


Kecil kemungkinan bagi kita untuk mengalami rasanya ditempatkan di pengasingan seumur hidup kita, tetapi pengalaman Bung Karno dapat kita jadikan motivasi untuk terus membuat Indonesia semakin lebih baik. Kalau Bung Karno yang geraknya dibatasi saja masih bisa tetap berjuang, mengapa kita yang masih bebas tidak mau berjuang? Berjuang dengan hal-hal kecil saja sudah lebih dari cukup jika dilakukan secara terus menerus dan bersama-sama.

 

Penulis: Sal Sabillah Nur Aisyah

Editor: Vanya Jasmine

Sumber gambar: travel.compas.com