gemakeadilan.com
– Keluarga adalah sekolah pertama bagi seorang anak. Sebab, anak belajar pertama kali
tentang cara berinteraksi antar manusia, etika,
sopan santun dan pelajaran lain yang dapat
menjadi bekal untuk kehidupan kelak melalui ajaran orang tuanya.
Pengalaman masa kecil dan bekal pelajaran kepada seorang anak oleh orang tuanya ini yang kemudian berkembang menjadi karakter dan watak
anak hingga muncul peribahasa buah jatuh tidak
jauh dari pohonnya. Berbicara tentang hal ini mengingatkan saya tentang pelajaran yang saya peroleh dari Ibu saya yang saya harap mampu
menjadi kisah bijak untuk kita semua.
Dahulu, di keluarga saya ada sebuah kaleng
kerupuk. Di
dalamnya terdapat empat sampai lima jenis kerupuk berbeda yang rutin ibu saya
beli untuk stok. Biasanya, Ibu
membeli kerupuk-kerupuk tersebut di awal bulan bersama dengan keperluan rumah lainnya. Uniknya,
di antara
kami (Ayah, Adik, dan saya) ada semacam dominasi
yang hampir seperti penggolongan kasta kerupuk berdasarkan kegemaran
masing-masing anggota keluarga.
Golongan kerupuk pertama adalah golongan primadona
yang diisi oleh kerupuk elit seperti kerupuk tengiri dan kerupuk udang. Kerupuk
ini secara pribadi memang kegemaran saya sejak kecil dan entah bagaimana selera
kami sekeluarga hampir sama. Selanjutnya,
pada golongan kedua ada kelompok ‘sedang’
yang merupakan kerupuk kelas dua dan merupakan pilihan yang secara ikhlas kami
terima. Setiap kali memakannya, kurang lebih perasaan “Mau tidak mau dimakan, daripada tidak ada”
muncul dalam batin kami sehingga
merupakan pilihan sekenanya dalam dinamika di meja makan. Kelompok ‘sedang’ ini diisi oleh kerupuk
bawang, kerupuk rambak dan kerupuk gendar. Dari tiga jenis kerupuk di divisi ‘sedang’, kerupuk gendar adalah
golongan yang paling dikucilkan dan paling tidak kita sukai. Rasanya yang
cenderung hambar dan tidak cocok untuk dimakan dengan nasi membuat kami sering
meng-anak tiri-kannya.
Anehnya, Ibu
saya tetap akan membelinya bulan depan meski secara bersama-sama kami tolak.
Mirisnya setiap akhir bulan,
kerupuk-kerupuk primadona akan selalu dan pasti habis lebih dulu, menyisakkan
kerupuk-kerupuk kasta terendah yang enggan dipilih dan menumpuk cukup banyak di dasar kaleng yang gelap dan dingin.
Bisa dipastikan bahwa jenis kerupuk gendar ada dalam golongan itu setiap
bulannya. Hal ini
pada akhirnya memunculkan nuansa diskriminasi dan ketidakadilan yang sungguh
nyata terasa di meja makan pada setiap akhir bulan. Ya apa mau dikata, “Kita
tidak bisa memaksa kehendak orang untuk menyukai sesuatu, kan?” pikirku
saat itu.
Pikiran polos saya pada saat itu ternyata
jauh berbeda dengan pikiran Ibu
yang ultra-revolusioner. Ibu yang merupakan pemimpin de facto dan pemegang kekuasaan tertinggi di rumah melihat kondisi
seperti ini cenderung memunculkan iklim yang tidak sehat. Hal seremeh
mendeskriminasikan kerupuk ini beliau pikir rawan menjadi kebiasaan yang tidak
baik. Akhirnya di sebuah siang yang cerah, ibu
saya mengeluarkan suatu pernyatan atau lebih tepat disebut sebagai ultimatum
yang bagiku.
“Semua kerupuk ini sama saja, sama-sama
dibeli pakai uang, sama-sama dibeli di pasar, bahkan beli di tukang yang sama. Ndak bijak kalau kamu sama adik cuma
ambil kerupuk yang kamu senengi tok mas,
harus adil”. Aneh bagiku pada saat itu, kalau Ibu
sudah memahami fakta bahwa kelompok kerupuk itu tidak kami sukai, kenapa terus dibeli? Kalau kalian berpikir bahwa mungkin saja Ibu
saya menyukai kelompok kerupuk itu,
kalian salah besar. Maka, tidak
ada alasan logis yang dapat menjelaskan hal ini terjadi (selain karena memang fakta
bahwa Ibu akrab dengan penjualnya).
Akhirnya pada
bulan
selanjutnya, ultimatum itu tidak hanya sebatas ucapan.
Ibu memasukkan semua jenis
jenis kerupuk yang baru saja dibeli dan mencampurnya di dalam kaleng sehingga tidak
ada lagi jenis kerupuk yang terpetak-petak, tersekat-sekat, dan terbagi-bagi. Semua
benar-benar tercampur rata.
Kemudian, Ibu
mengeluarkan maklumat bahwa setiap anggota keluarga wajib mengambil kerupuk
pertama yang mereka
dapati di kaleng dan dilarang untuk mengganti, menukar, atau mengembalikan kerupuk
yang sudah ada di genggaman serta wajib menghabiskannya dengan suka ria. Sekali
lagi, suka ria. Semua jenis kerupuk
dianggap sama dan setara atas nama hukum tanpa ada penggolongan atau
deskriminasi, setidaknya di meja
makan.
Pikirku
saat itu, “Apakah
ini yang orang bilang rasanya direnggut hak kebebasan untuk memilih dan
berpendapat, hak untuk menentukan keinginan sesuai kehendaknya, hak untuk
sekedar bahagia dan leluasa atas pilihannya sendiri?” Cukup bagiku saat itu untuk menyamakan
Ibu dengan pemimpin otoriter yang
dahulu tinggal di Jalan Cendana.
Namun, dewasa ini baru saya sadari bahwa
cara Ibu mendidik saya dan Adik saat itu adalah cerminan
bagaimana seharusnya saya hidup dan bersosialisasi saat ini. Fakta bahwa kita
tidak bisa memaksa diri kita untuk setuju, sependapat, seiya dan sepahaman dengan orang lain. Kita tidak bisa dan tidak
memiliki kekuatan untuk mengubah atau mengatur pikiran orang lain sehingga
satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah berkompromi. Selain itu, kita tidak bisa pula lari
dari kenyataan bahwa di kehidupan nyata ini, dalam lingkungan terdekat kita
memang ada golongan-golongan atau sekelompok manusia yang mendapatkan perlakuan
berbeda entah karena status, fisik, ekonomi, agama, ras, suku, atau apapun
variabel pembeda itu. Namun,
setidaknya kita bisa berusaha memperlakukan mereka secara sama dan setara serta
murni melihat status mereka sebagai sesama manusia.
Ibu juga mengajarkan saya bagaimana suatu
hari nanti bisa bersikap dan berperilaku. Tindakan Ibu untuk mengajarkan nilai
baik kepada anak tidak hanya dengan teori atau nasehat yang bahkan belum mereka
mengerti seutuhnya, melainkan lebih kepada bagaimana penerapan contoh perilaku
bijak tersebut melalui aktivitas
sederhana yang ada di sekeliling anak. Dengan cara
ini, anak dapat memiliki
kemandirian untuk menerjemahkan hal tersebut sesuai dengan pemahamannya, tanpa
ada intervensi tentang bagaimana definisi suatu nilai seharusnya. Saya rasa ini cukup penting
untuk dapat menjadikan anak
mampu berpikir kritis tentang kondisi yang ada di sekitarnya dan menyaring hal-hal yang bijak dari yang tidak bijak, sedari usia
dini.
Oh ya, peraturan aneh bin ajaib Ibu akhirnya mampu mengangkat
derajat kerupuk gendar dan kelompok kerupuk ‘sedang’
lain yang sebelumnya tersisihkan oleh kami. Tidak ada lagi dominasi kerupuk
tertentu dan semua kerupuk habis di akhir bulan. Peraturan aneh namun efektif
ini kemudian secara sepihak saya sebut sebagai gendar equality atau kesetaraan
gendar.
Penulis: Atmakeno Daniswara
Editor: Vanya Jasmine
Sumber Gambar:
Pinterest