img-post

Bea adalah pungutan yang dikenakan atas keluar masuknya barang atau komoditas yang berkaitan dengan keluar dan masuk daerah pabean. Sedangkan Cukai merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang memiliki karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang tentang cukai. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berada di bawah naungan Kementerian Keuangan Indonesia, bertugas untuk mengawasi barang yang masuk dan keluar negara. Namun, belakangan ini bea cukai menuai beberapa kontroversi terkait barang yang ditahan dan menjadi indikasi penyalahgunaan wewenang petugas bea cukai dalam menjalankan tugasnya. 

Untuk mempelajari kasus tersebut, sebuah wawancara yang dilaksanakan bersama dosen bagian Hukum Administrasi Negara (HAN) Universitas Diponegoro, Muhammad Azhar, S.H., LL.M., telah membahas terkait problematika atau kasus yang terjadi seputar bea cukai akhir-akhir ini. Ditinjau dari sudut pandang hukum pelayanan publik, bea dan cukai merupakan salah bentuk pelayanan publik yang disediakan oleh negara untuk melayani barang-barang yang hendak keluar dan masuk dari dalam atau luar negara. 

Seiring berkembangnya paradigma pelayanan publik yang pada awalnya adalah Old Public Administration yaitu konsep yang menempatkan pengguna sebagai klien, kemudian berkembang menjadi New Public Management yaitu konsep yang menempatkan pengguna sebagai pelanggan, dan perkembangan terakhir hingga sekarang adalah menjadi New Public Service yaitu menempatkan pengguna sebagai pusat pelayanan. Maka berdasarkan perkembangan paradigma tersebut, pelayanan publik yang ideal adalah segala tindakan yang menjadi kebutuhan masyarakat harus dilaksanakan secara efektif, efisien, berkepastian hukum, bermanfaat, dan di era sekarang dapat menggunakan sarana kemajuan teknologi sebagai inovasi dalam pelayanan publik. Dengan kata lain, pelayanan publik dapat diartikan juga sebagai segala bentuk pelayanan yang dibutuhkan masyarakat tanpa harus diminta.

Melihat kasus terkait bea dan cukai yang belakangan ini ramai diperbincangkan publik, maka kasus tersebut dapat ditelaah dari sudut pandang hukum pelayanan publik mengingat bahwa pelayanan bea dan cukai juga termasuk pelayanan publik. Seperti kasus pada 10/5/2024 lalu, Bea Cukai Soekarno Hatta resmi dilaporkan oleh salah seorang pengusaha asal Malaysia ke Kejaksaan Agung RI atas dugaan penyalahgunaan wewenang dari sejumlah mobil mewah yang telah ditahan kurang lebih dua tahun di Bea Cukai.

Berdasarkan uraian sebelumnya terkait idealnya pelayanan publik itu seperti apa, yang menjadi dasarnya adalah hak-hak warga negara yang diatur dalam konstitusi dasar UUD NRI 1945, khususnya pada pasal 28. Contohnya ketika ada seseorang melakukan kejahatan dan seseorang tersebut berasal dari keluarga menengah kebawah, ketika dia harus berhadapan dengan hukum di pengadilan, kecil kemungkinan dia dapat membayar seorang pengacara. Namun, karena adanya hak-hak yang dijamin pada pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 yaitu hak mendapatkan perlindungan hukum, negara hadir untuk memberikan pelayanan dengan memanggil seorang pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum yang diharapkan dapat mendampingi seseorang yang sedang berkasus di pengadilan. Disini murni negara memberikan pelayanan bagi setiap warga negaranya tanpa diminta dan tanpa dipungut biaya.

Kemudian, perlu diketahui bahwa sektor pajak dan bea cukai menyumbang 70% pemasukan negara. Maka seharusnya di sektor bea cukai, pelayanan yang diberikan harus lebih baik dari pelayanan publik lainnya karena negara mendapatkan keuntungan dari pelayanan yang diberikan. Pada kasus-kasus bea cukai terakhir, menurut pembicara menyatakan bahwa bea cukai tidak memahami dengan baik apa yang seharusnya dilakukan dalam memberikan pelayanan kepada publik. 

Lalu bagaimanakah pelayanan publik pada bea cukai yang ideal. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dikembalikan pada teori sistem hukum Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa sistem hukum terdiri atas tiga komponen yaitu substansi, struktur, dan kultur atau budaya. Secara substansi, peraturan yang ada di bea cukai sudah sangat rigid dan lengkap. Secara struktur kelembagaan, penyelenggaraannya adalah di seluruh Indonesia. Menurut pendapat pembicara, seharusnya di kota-kota besar saja sudah cukup. Struktur kelembagaan pada bea cukai sudah dilaksanakan perbaikan seperti menaikkan gaji pegawainya, namun masih banyak hal yang perlu diperbaiki dalam struktur kelembagaan seperti integritas dan kualitas sumber daya manusia atau pegawai yang dipekerjakan dan lain sebagainya. Secara kultur atau budaya, sudah bukan hal yang tabu bahwa budaya masyarakat Indonesia adalah membawa oleh-oleh ketika bepergian dan jumlahnya cenderung banyak. Jadi, yang diinginkan masyarakat dalam peraturan bea cukai adalah tidak ada pembatasan jumlah barang oleh-oleh yang dibeli dan masuk ke Indonesia, namun pada faktanya peraturan di bea cukai membatasi hal tersebut seperti contohnya membatasi jumlah objek barang, membatasi nominal harga, dll sebagaimana diatur dalam  UU No 39 Tahun 2007 tentang Cukai.

Maka dapat disimpulkan bahwa dengan pendekatan sistem hukum, secara substansi peraturan yang ada dalam bea cukai sudah ideal, namun secara struktur dan kultur belum ideal. Hal tersebutlah yang melahirkan banyak kasus dalam bea cukai yang akhir-akhir ini ramai diangkat di media sosial sebagai bentuk protes warga negara atas pelayanan yang ada pada bea cukai. Untuk memperbaiki pelayanan sebagaimana uraian sebelumnya, diperlukan perbaikan lebih lanjut dalam hal struktur kelembagaan dan penyesuaian terhadap kultur masyarakat Indonesia, sehingga diharapkan regulasi bea cukai dapat memberikan pelayanan publik yang lebih baik lagi kedepannya. Jika pelayanan publik berjalan dengan baik dan semestinya, maka itulah yang dicita-citakan oleh konstitusi dasar Republik Indonesia dalam memberikan hak-hak kepada warga negaranya.


Penulis : Gola Arpanji Cahyono, Nor Chanifah Laila