img-post

gemakeadilan.com – Beberapa dari kita mungkin sudah tidak asing dengan kata ‘tirani’. ‘Tirani’ identik dengan pemerintahan bereputasi buruk di masyarakat. Menurut KBBI, tirani berarti kekuasaan yang digunakan sewenang-wenang; negara yang diperintah oleh seorang raja atau penguasa yang bertindak sekehendak hatinya; menjadikan kedaulatan rakyat akan hilang. Secara sederhana, tirani menurut Netflix dalam serial dokumenternya yang berjudul How To Become a Tyrant adalah pemerintahan untuk orang-orang yang menginginkan hasil. Film dokumenter ini mengulas 6 tokoh yang memiliki reputasi sebagai seorang pemimpin tirani beserta metode-metode unggulan yang mereka gunakan dalam pemerintahannya. Tokoh-tokoh tersebut antara lain:

 

1.       Adolf Hitler: Rebutlah Kekuasaan

Apabila membahas tentang kepemimpinan seorang diktator, seringkali muncul berbagai pertanyaan. Di antaranya, bagaimana rakyat dari seorang diktator tunduk begitu saja pada semua peraturan yang diberlakukan? Bagaimana para pemimpin tirani mampu mempertahankan rezim selama bertahun-tahun lamanya dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya? Menjawab pertanyaan ini, Andrew Sullivan, seorang penulis dan pengamat politik mengatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki insting untuk ingin mempunyai pegangan hidup seperti peraturan ketimbang kebebasan tanpa batasan. “Saat melihat sejarah manusia, kebebasan bukan norma. Kita suka diatur. Saat hidup dimasa sulit, ada daya tarik terhadap seseorang yang muncul dan menemukan momen yang tepat, lalu berkata, aku bisa mempebaiki semuanya sendiri.

Pada saat pemerintahan Hitler, Hitler mampu membuat rakyat Jerman percaya padanya dan tunduk di  bawah peraturan-peraturan yang dibuatnya. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Apa yang membuat Hitler menjadi magnet pada masa pemerintahannya? Menurut Waller Newell, seorang Profesor Ilmu Politik di Universitas Carleton, awal pemikiran yang melahirkan sosok seperti Hitler adalah kepercayaan diri. Kepercayaan diri yang kuat disertai taktik-taktik cerdas membuatnya dapat mengukir sejarah. Tiran memiliki semacam keyakinan megalomaniak tentang kemampuan mereka. Mereka harus punya itu. Mereka sering merasa seperti pembebas. Mereka yakin hanya mereka yang bisa menyelamatkan dunia dan menjadikan dunia lebih baik.”

 

2.       Saddam Hussein: Hancurkan Para Pesaingmu

Lain tokoh, lain taktik. Jika Hitler dikenal dengan kharisma dan taktiknya dalam merebut kekuasaan, Saddam terkenal dengan sikap tegasnya dalam menghalangi setiap musuhnya. Hal tersebut membuat Saddam Husein mampu memimpin Irak selama 24 tahun. Bruce Bueno De Mesquita, seorang Professor Ilmu Politik dari Universitas New York mengungkapkan bahwa Saddam Husein memiliki sifat bawaan untuk menumpas semua yang dianggapnya sebagai musuh. “Saddam itu kasar. Caranya tetap berkuasa adalah memastikan bahwa siapa pun yang sedikit saja dia curigai akan menjadi lawan, akan mati.”

Joseph Sassoon, seorang Professor Ilmu Sejarah dari Universitas Georgetown dan Benjamin Radd, seorang Professor Ilmu Politik dari UCLA turut menambahkan bahwa kekasaran ini telah melekat pada Saddam sejak kecil. “Sejak usia dini, Saddam Husein percaya akan kekuasaan. Saat masih muda, Saddam akan membawa tongkat logam, dan dia memakai tongkat logam ini untuk mengancam dan mengintimidasi orang. Dia juga memakainya untuk menyiksa hewan kecil.”

 

3.       Idi Amin: Berkuasalah Dengan Menebar Teror

Namun, menjadi tiran tidak hanya cukup dengan menaklukan musuh-musuh dalam pemerintahan seperti yang dilakukan oleh Saddam Husein. Maka dari itu, lanjut ke tokoh tiran selanjutnya, Idi Amin, yang memerintah dan berkuasa dengan menebar teror. Seorang tiran harus mampu memikirkan bagaimana agar orang-orang yang ada di bawah mereka tetap mendampinginya dalam keadaaan apapun, baik suka maupun duka.

Machiavelli, seorang ahli pemerintahan memunculkan suatu pertanyaan terkait kekuasaan seorang tiran. “Apakah penguasa lebih baik ditakuti atau dicintai? Jawabannya adalah ditakuti. Seorang tiran harus mengandalkan rasa takut orang-orang yang ada di bawahnya, karena jika orang-orang tersebut takut, maka seorang tiran telah mampu mengendalikan mereka. Terlebih lagi jika ketakutan tersebut muncul dengan taktik yang tepat, sebagaimana yang terjadi di Uganda dalam masa pemerintahan Idi Amin Dada pada rentang waktu 1971-1979."

Amin menjadikan teror dan kekerasan sebagai metode untuk masa pemerintahannya. Menurutnya kekerasan itu bagus karena orang-orang akan menghormatinya. Hal ini terbukti dalam catatan sejarah bahwa sebanyak 300.000 orang Uganda hilang atau terbunuh, seringkali atas mandatnya. Milton Obote, mantan Presiden Uganda, mengungkapkan pendapatnya bahwa Idi Amin mengubah Afrika menjadi rumah jagal manusia.

Idi Amin banyak melakukan pembunuhan usai dia berkuasa. Enam bulan setelah rezim Amin berkuasa, muncul tuduhan-tuduhan bahwa ada pembantaian di barak, terlebih lagi terhadap prajurit dari kelompok etnik yang dekat dengan mantan Presiden Uganda, Milton Obote. Pendapat ini dikuatkan oleh Derek Peterson, seorang Profesor Ilmu Sejarah dan Afrika dari Universitas Michigan. “Orang-orang dibunuh di salah satu hutan di luar Kampala. Mereka dikubur di hutan atau dibuang ke Sungai Nil.”

Dari pemerintahan Amin kita belajar bahwa jangan menyepelekan kebenaran buruk yang tersebar terutama oleh suatu pemerintahan. Bagi seorang tiran yang hidup di dunia yang kacau, kebenaran akan menyusahkan dan menjadi halangan. Kebenaran adalah penghalang untuk penguasa atau orang-orang yang dominan dalam pemerintahan. Hal ini dikarenakan kebenaran mengundang perdebatan. Dari kebenaran-kebenaran yang tampak, kita dapat berpikir kritis untuk mempertanyakan kisah-kisah yang disuguhkan.

 

4.       Joseph Stalin: Kendalikan Kebenaran

Berdasarkan fakta di atas mengenai pentingnya mencegah penyebaran dari kebenaran dan mengontrol informasi dalam masyarakat, Joseph Stalin menggunakan pengendalian kebenarannya sebagai metode agar pemerintahan berjalan sesuai dengan harapannya. Joseph Stalin adalah pemimpin Uni Soviet pada rentang waktu 1929-1953 yang menggunakan propaganda, disinformasi, dan trik lainnya untuk mempertahankan kontrol penuh atas pemerintahannya. Stalin memberikan landasan realitas untuk masyarakat. Cara kerjanya sederhana, yaitu jika sebuah fakta dapat melindungi kepentingan revolusi, berarti hal itu benar. Dengan metodenya ini, Stalin tidak hanya sekadar dapat mengendalikan rakyatnya, tetapi juga mengambil alih kontrol pikiran mereka.

Maria Konnikova, seorang penulis, berpendapat bahwa cara yang dilakukan Stalin ini merupakan metode yang luar biasa efektif untuk mengendalikan informasi dalam publik. “Salah satu alat terkuat yang dimiliki pemimpin manapun adalah pengendalian informasi. Ketika kamu dapat menutup saluran informasi, maka dengan bebas kamu dapat memilih narasi yang akan ditampilkan ke publik dan membuatnya seolah-olah adalah kenyataan.

Sebelum setiap kali menyensor subjek-subjek terlarang, Stalin selalu memikirkannya secara matang. Hal-hal yang dilarang Stalin yang dikutip dalam film dokumenter How To Become a Tyrant di antaranya adalah pendapatan individu, kenaikan harga, serta hal yang melibatkan kekurangan makanan dan kelaparan. Statistik kriminal, pengangguran, atau tunawisma dianggap sebagai pencemaran. Laporan bencana alam atau buatan manusia seperti gempa bumi atau kecelakaan pesawat, berita kondisi penjara iklan barang asing, berita nama-nama pejabat dan pasangannya, ketersediaan obat, dan apapun tentang arsitektur Kremlin atau perbaikan Teater Bolshoi juga disimpan rapat-rapat.

Dalam bayang-bayang rezim Stalin, perpustakan diruntuhkan dan diadakan pembatasan terhadap buku-buku yang dianggap oleh negara sebagai penyerangan terhadap rezim. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga pikiran rakyat Uni Soviet yang mudah terpengaruh dari rasa keingintahuan. Bahkan, karakter Sherlock Holmes pun dilarang. Sherlock dinilai sebagai pribadi yang mandiri dan terlalu individualis untuk ideologi Stalinisme yang kolektif.

 

5.       Muammar Qaddafi: Ciptakan Masyarakat Baru

Pada paragraf sebelumnya telah dijelaskan bagaimana cara para tiran merebut kekuasaan, menghancurkan para pesaing, melakukan penyiksaan terhadap rakyat sendiri supaya tunduk, dan mengganti kebenaran objektif dengan kenyataan yang diinginkan. Lalu, bagaimana caranya menciptakan dunia impian para tiran? Pertanyaan tersebut akan terjawab oleh metode pemerintahan Muammar Khadafi, yaitu “menciptakan masyarakat baru”.

Visi Dafi yang eksentrik adalah mengubah hidup rakyatnya dengan berbagai cara. Seorang profesor ilmu pemerintahan, Diederick Vandewalle berpendapat bahwa Khadafi adalah figur yang tragis. “(Khadafi adalah) seseorang yang awalnya mau mengubah masyarakat di sekitarnya, dan pada akhirnya mulai mempercayai kisahnya sendiri.” Begitupun menurut Waller Newell, seorang Profesor Ilmu Politik dari Universitas Carleton. “Khadafi terkenal korup dan serakah, gaya berpakaiannya beragam, dan sikapnya dibuat-buat. Dia mengunjungi negara asing dan akan tidur di luar dengan tenda.’’

Seperti para diktaktor lainnya, Khadafi paham betul bahwa ia harus menekan kebebasan sipil. Oleh karena itu, Khadafi melarang kebebasan berbicara dan hak berkumpul. Khadafi memanfaatkan wewenangnya untuk membuat peraturan sesuka hatinya. Peraturan tersebut antara lain melarang minuman keras dan menutup semua klub malam, menarik semua dokter, pengacara, dan asisten rumah tangga yang membuka praktik pribadi, melarang orang-orang untuk memanggil taksi, mencambuk pelaku tindakan perselingkuhan dan menjamin pelaku akan kehilangan salah satu anggota tubuhnya, melarang serikat pekerja, melarang mogok kerja, dan melarang ayam impor.

 

6.       Kim Il Sung: Selalu Ikuti Peraturan

Dari beberapa tokoh tiran di atas, ada satu hal yang tidak bisa mereka capai. Hal tersebut adalah mempertahankan kekuasaan mereka supaya stabil dan permanen. Namun, ada satu tokoh tiran yang berasal dari salah satu negara yang paling terpencil yang berhasil melakukannya, yaitu Korea Utara. Sebagaimana kita ketahui, bapak pendiri Korea Utara, Kim II Sung, dan putranya, Kim Jong II, membangun sistem pemerintahan mutlak yang masih kuat sampai sekarang.

Taktik terkenal yang dilakukan oleh Kim II Sung adalah mengasingkan kerajaannya. Korea Utara berhasil mengisolasi rakyatnya dari seluruh dunia. Di sana tidak ada akses informasi, televisi hanya mempunyai satu saluran, telepon disadap, bahkan masyarakat tidak bebas bepergian untuk berkeliling negara dan meninggalkan negara tanpa izin. Awal dari isolisir ini adalah ketika Kim II Sung mulai merasa risih dengan pengaruh Soviet, sehingga pada tahun 1950-an dia mulai memisahkan diri dengan menciptakan ideologi nasional baru bernama Juche.

Juche dapat diartikan sebagai kemandirian. Dengan ideology ini Kim II Sung seolah-olah berkata, “Kami (Korea Utara) akan melakukan semuanya sendiri.” Ideologi tersebut dilatarbelakangi oleh negara Korea Utara yang telah mendapatkan pengaruh luar selama berabad-abad, baik dari Tiongkok maupun Jepang. Juche dibentuk untuk memaksa pemikiran bahwa mereka harus menghidupi diri sendiri dan menjadikan isolasi sebagai sumber kebanggaan. Paham Juche mengatakan kerja sama dengan negara lain akan menghancurkan kedaulatan negara dan Korea Utara harus bersatu di bawah pengaruh pemimpinnya, Kim II Sung.

 

Demikianlah beberapa penjelasan dari tokoh-tokoh tirani terkenal dunia tentang bagaimana mereka memerintah selama menjadi tiran. Bahkan sampai sekarang di era gempurnya demokrasi dan HAM, masih terdapat beberapa pemimpin negara yang menjadi diktaktor untuk melanggengkan kekuasaannya. Dari mereka kita belajar cara-cara pemerintahan mana yang harus kita contoh dan mana yang harus kita tanggalkan. Akhir kata, tulisan ini ditutup dengan kutipan dari Ben Roethlisberger: “Kepemimpinan adalah sesuatu yang kamu peroleh, sesuatu yang kamu pilih. Kamu tidak bisa berteriak dan bilang, “Aku pemimpinmu!” Menjadi pemimpin adalah karena orang lain menghormatimu.”

 

 

Penulis                    : Sal Sabillah Nur Aisyah

Editor                      : Vanya Jasmine

Sumber Gambar     : Sal Sabillah Nur Aisyah