img-post

gemakeadilan.com – Kota Semarang merupakan salah satu kota wisata yang cukup populer bagi wisatawan lokal maupun asing. Hal ini tak mengherankan sebab Kota Semarang memiliki banyak ikon-ikon wisata yang tak hanya mewah di mata, tetapi juga memiliki sejarah yang mendalam, salah satunya adalah Kelenteng Sam Poo Kong. Kelenteng Sam Poo Kong merupakan tempat peribadatan bagi pemeluk agama Taoisme, Buddhisme, dan Konfusianisme. Meskipun fungsi utamanya saat ini sebagai tempat untuk beribadat, kelenteng ini juga difungsikan sebagai tempat pendidikan serta destinasi wisata bagi wisatawan yang ingin berkunjung. Hal ini dikarenakan Kelenteng Sam Poo Kong memiliki sejarah yang menarik untuk dipelajari.

 

Kelenteng Sam Poo Kong didirikan pada tahun 1724. Kelenteng ini adalah kelenteng terbesar di dunia dengan luas 3,2 hektar dan terdapat lima bangunan di dalamnya. Kelenteng Sam Poo Kong merupakan bukti dari adanya akulturasi budaya antara budaya Tionghoa dan Jawa dengan melihat kombinasi karakteristik pada bangunannya. Mulanya, kelenteng ini dibangun oleh Wang Jing Hong sebagai bentuk penghormatannya kepada Laksamana Zheng He (dibaca: Cheng Ho) karena telah merawatnya dari sakit keras yang telah dideritanya. Laksamana Zheng He ini merupakan laksamana muslim yang terhormat dan diutus oleh Kerajaan Ming untuk menjalankan beberapa ekspedisi laut ke Kepulauan Selatan. Laksamana Zheng He juga terkenal dengan misinya untuk membawa perdamaian.

 

Peristiwa ini dimulai pada tahun 1416, ketika kapal ekspedisi Laksamana Zheng He telah sampai di Pulau Jawa, tepatnya pada Pantai Simongan. Mengetahui Wang Jing Hong sebagai Juru Mudi dari Laksamana Zheng He mengalami sakit keras, ia kemudian beristirahat di sebuah gua batu untuk mengobati Juru Mudinya tersebut. Sebagai bentuk penghormatan dan juga agar jasa Laksamana Zheng He dapat dikenang, pada tahun 1417, Wang Jing Hong membangun patung Laksamana Zheng He di dalam goa batu tersebut. Hal tersebut juga merupakan sebagai asal mula penamaan dari Kelenteng Sam Poo Kong, yang berarti goa San Bao (nama asli dari Laksamana Zheng He).

 

Setiap sisi bangunan dari kelenteng ini memiliki fungsi dan maknanya masing-masing. Bangunan pertama adalah Kelenteng Pemujaan Dewa Bumi. Kelenteng Pemujaan Dewa Bumi merupakan kelenteng peribadatan sebagai ucapan rasa syukur terhadap kekayaan pangan dan juga lahan yang subur. Pada bangunan kedua, terdapat Kelenteng Pemujaan Makam Mbah Kyai Juru Mudi yang merupakan makam Wang Jing Hong. Kelenteng Pemujaan Makam Mbang Kyai Juru Mudi ini kerap kali digunakan sebagai tempat berziarah bagi umat Taoisme, Konfusianisme, Buddhisme, Hindu, Kristen, dan Islam. Pada bangunan ketiga, terdapat Kelenteng Utama Pemujaan Sam Poo Kong untuk mengingat dan menghormati segala jasa yang telah diberikan oleh Laksamana Zheng He. Kelenteng ini terletak pada gua lama dan gua baru yang digunakan oleh Wang Jing Hong. Pada bangunan keempat, terdapat Kelenteng Pemujaan Mbah Kyai Jangkar yang merupakan tempat untuk menyimpan jangkar kapal ekspedisi Laksamana Zheng He. Kelenteng ini digunakan sebagai tempat berdoa untuk menghormati arwah para leluhur dan Nabi. Terakhir, pada bangunan kelima, terdapat Kelenteng Pemujaan Makam Mbah Kyai Tumpeng Dua dan Curudik Bumi yang merupakan tempat untuk bersantap di saat berlangsungnya upacara puji syukur yang diadakan oleh para pelaut dan pengikut Laksamana Zheng He bersama penduduk setempat. Kelenteng ini juga digunakan sebagai tempat berdoa dan bermeditasi.


Kelenteng Sam Poo Kong terletak di Jalan Simongan Raya No. 129, Bongsari, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah. Kelenteng ini dibuka untuk umum pada setiap hari, mulai pukul 08.00 - 20.00 WIB dengan harga tiket masuk mulai dari Rp 10.000 – Rp 65.000. Kelenteng Sam Poo Kong sangat cocok dijadikan sebagai tujuan destinasi wisata untuk kalangan usia manapun, sebab selain memanjakan dengan kemegahan bangunannya, wisatawanpun dapat memetik hikmah dan pembelajaran dari sejarah yang melekat pada kelenteng ini.

 

 

Penulis: Syifa Aninda Wahab

Editor: Vanya Jasmine

Sumber gambar: nativeindonesia.com