img-post

gemakeadilan.com - Berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi  di Indonesia menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah. Pada 1998, terjadi  kerusuhan kepada etnis Tionghoa yang berawal dari sentimen negatif yang  berdampak terhadap terjadinya pembunuhan hingga pemerkosaan. Pelanggaran  HAM berat lainnya yaitu kasus Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, Tanjung Priok, dan  lainnya. Selain itu, Soeharto mengeluarkan kebijakan yang mengekang hak  berserikat, hak berekspresi, dan berpendapat bahkan terdapat pembunuhan dan  penghilangan orang tanpa adanya putusan pengadilan. Peningkatan pelanggaran  HAM yang terjadi pada orde baru menjadi catatan panjang dalam kehidupan  bernegara di Indonesia. Bahkan peningkatan pelanggaran HAM tersebut membuat meningkatnya ekskalasi massa dari berbagai golongan yang menuntut mundurnya  Soeharto sebagai presiden melalui gerakan reformasi.

Gerakan reformasi tersebut dianggap sebagai suatu angin segar untuk melakukan  perubahan terhadap berbagai permasalahan yang ada di Indonesia, mulai dari  meningkatkan perlindungan HAM, penegakkan hukum, dan menciptakan pemerintah yang bebas dari KKN. Bahkan secara yuridis, gerakan reformasi 1998 telah berhasil  menciptakan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM sebagai bentuk kepedulian dan  perlindungan negara terhadap hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia. Namun dalam praktiknya, pelaku pelanggaran HAM berat yang terjadi baik pada orde lama  maupun orde baru tidak pernah diadili untuk diminta pertanggungjawabannya  sebagai bentuk mewujudkan keadilan bagi keluarga korban. Selain itu, tidak  diadilinya pelanggar HAM berat menjadi suatu indikasi akan adanya imunitas hukum  terhadap pelaku kejahatan HAM yang jelas bertentangan dengan asas dalam  negara hukum yaitu Equality before the law yang berarti setiap orang sama di hadapan hukum. Sehingga, pelaku kejahatan HAM perlu diadili sebagai bentuk  wujud keadilan dalam akses hukum. Selain itu diperlukan pula politic will dalam  menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu karena konstitusi yaitu UUD NRI  Tahun 1945 juga mengatur asas tersebut dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun  1945. 

Bahkan, reformasi 1998 juga menjadi cikal bakal perubahan meningkatnya  perlindungan HAM bagi setiap masyarakat. Perubahan tersebut berupa hak untuk  hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak  beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan  persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang  berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan  apapun dan oleh siapapun, sesuai dengan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang  Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, pada 2004 tepatnya bulan September telah terjadi  pembunuhan terhadap aktivis bernama Munir Said Thalib yang sedang dalam  perjalanan menuju Belanda untuk melakukan studinya. Kematian aktivis tersebut  menjadi suatu sinyal yang kuat bahwa negara tidak bisa memberikan jaminan yang  pasti terhadap keamanan sipil untuk dapat hidup dengan aman dan tentram, juga terbatasnya hak kebebasan dalam mengungkapkan ekspresi maupun pendapat. Kasus yang terjadi pada Munir menjadi catatan panjang terhadap pelanggaran HAM  yang terjadi di Indonesia serta selalu absennya tanggungjawab negara dalam  menjamin HAM setiap individu. 

Pemerintah terkesan absen dalam tanggung jawab terhadap penyelesaian kasus  pelanggaran HAM, hal ini dapat diketahui dari belum diselesaikannya pelanggaran HAM berat sejak masa orde lama hingga saat ini. Hal demikian tentunya perlu  disadari oleh masyarakat untuk kembali menyatukan persepsi dan meningkatkan  kepedulian dengan mengetahui definisi dari hak asasi manusia. Secara yuridis,  definisi hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan  keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan  anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,  hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat  dan martabat manusia, sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999  tentang HAM. Oleh karenanya, negara wajib bertanggungjawab terhadap  pelanggaran HAM yang terjadi dengan membentuk tim pencari fakta yang bersifat  independen sehinggga negara dapat mengadili pelaku pelanggaran HAM melalui  lembaga yang berwenang. 

Penyelesaian pelanggaran HAM berat baik yang terjadi pada masa lalu maupun  masa kini tidak memberikan petunjuk akan niat pemerintah untuk mengadili para  pelakunya. Hal tersebut menjadi indikasi ketidakpedulian negara terhadap  perlindungan HAM dan terdapatnya pilih kasih hukum. Bahkan tidak beraninya  pemerintah dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu  menjadikannya bertentangan akan konstitusi Indonesia yaitu UUD NRI Tahun 1945  tepatnya Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi, “Indonesia adalah negara hukum”. Oleh  karenanya, berbagai permasalahan yang terjadi harus diselesaikan melalui hukum  yang berlaku sehingga pelaku kejahatan kemanusiaan dapat diadili dalam rangka mewujudkan supremasi hukum yang berkeadilan. Dengan demikian, penegakan  hukum Indonesia terhadap pelanggaran HAM masih menjadi suatu misteri dalam  penyelesaiannya.


Penulis : Naufal Aziz 

Editor : Nilam Helga 

Ilustrator : Aqila Salsabila