gemakeadilan.com -
September 2019 menjadi tahun yang kelam bagi upaya penegakan demokrasi di
Indonesia. Tiga tahun silam, gedung DPR RI menjadi saksi bisu runtuhnya
demokrasi dengan diadakannya aksi demonstrasi yang bertajuk
#ReformasiDikorupsi. Aksi ini digadang-gadang merupakan aksi yang terbesar
setelah Gerakan Mahasiswa tahun 1998. Ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru
Indonesia datang ke ibukota dengan menyatukan suara untuk menyampaikan tuntutan
yang sama, yaitu bersama-sama menyampaikan mosi tidak percaya kepada DPR. Tak
hanya mahasiswa, berbagai kalangan seperti buruh, tokoh intelektual, aktivis,
dan tokoh publik lainnya ikut turut serta mendukung gerakan tersebut.
Menilik kembali situasi pada tiga tahun lalu, mosi tidak percaya kepada DPR disampaikan sebab masyarakat menanggap parlemen mengabaikan kritikan yang mereka sampaikan mengenai RKUHP dan UU KPK. Dilansir melalui Kompas.com, terdapat tujuh tuntutan yang diajukan kepada DPR, yaitu:
1. Cabut dan kaji ulang RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, dan RUU SDA; Terbitkan Perppu KPK
2. Sahkan RUU PKS dan PRT
3. Batalkan Pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR
4. Tolak TNI-Polri menempati jabatan sipil
5. Stop militarisme di Papua dan daerah lain, bebaskan tahanan politik Papua segera, serta buka akses jurnalis di tanah Papua
6. Hentikan kriminalisasi aktivis dan jurnalis. Hentikan pembakaran hutan di Indonesia yang dilakukan oleh korporasi dan pidanakan korporasi pembakaran hutan serta cabut izinnya
7. Tuntaskan pelanggaran HAM dan adili penjahat HAM termasuk yang duduk di lingkaran kekuasaan, pulihkan hak-hak korban segera.
Dari ketujuh tuntutan yang diajukan oleh
mahasiswa, tuntutan untuk menerbitkan Perppu KPK menjadi polemik yang ramai
diperbincangkan. Ketika kepercayaan publik kepada pemerintahan dan kekuasaan
legislatif menurun. KPK yang merupakan anak kandung reformasi menjadi lembaga
yang dipercaya oleh rakyat sebagai tempat paling aman untuk menaruh harapan,
sebab KPK merupakan lembaga yang independen dan bebas dari berbagai intervensi
kekuasaan. Akan tetapi, parlemen tampak seakan ingin melemahkan KPK dengan
merevisi UU KPK yang isinya seperti pemangkasan kewenangan penyidikan dan
penyadapan serta pengurangan kewenangan penuntutan. Aksi pelemahan KPK dengan
adanya revisi UU KPK juga ternyata diikuti dengan sejumlah pembahasan RUU yang
dinilai merampas ruang hidup rakyat, memberangus hak-hak sipil dan politik
warga masyarakat. Namun, di lain sisi justru hal-hal ini dianggap menguntungkan
para oligarki. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga banyak
menuai protes sehingga dimasukan ke dalam tuntutan mahasiswa. Dalam RKUHP
banyak pasal-pasal yang akan merugikan masyarakat Indonesia. Rancangan Undang-Undang
seperti RUU PKS dan RUU PRT yang seharusnya segera disahkan menjadi UU
mengingat urgensinya terhadap kepentingan rakyat justru tidak kunjung disahkan.
Bagaimana mahasiswa
dan masyarakat umum tidak marah kepada para orang-orang yang katanya adalah wakil
rakyat, tetapi sedikitpun tidak mendengarkan aspirasi rakyat. Mereka geram
kepada pada elit yang keras kepala membungkam suara rakyat dengan selalu
menyingkirkan pendapat rakyat. Ketika demonstrasi meluas, yang terjadi justru
tindakan represif oleh aparat kepolisian. Dengan dalih pengamanan, aparat
kepolisian justru banyak melakukan tindakan represif yang seringkali
menimbulkan korban. Begitu pula yang terjadi dalam aksi Reformasi Dikorupsi
tiga tahun silam, terdapat lima orang meninggal dunia dan puluhan lainnya
mengalami luka-luka ringan maupun berat. Ketika demonstrasi terjadi, aparat
kepolisian cenderung menggunakan cara-cara yang represif untuk meredam perlawanan dari massa. Aparat kepolisian
yang menggunakan cara-cara represif tentu saja mengesampingkan hak-hak konstitusional warga dan
mengedepankan isu keamanan. Polisi kerap kali membubarkan dan menuduh
pelaku demonstrasi yang melakukan tindakan melanggar hukum. Padahal negara
Indonesia merupakan negara demokrasi dan demonstrasi merupakan salah satu
refleksi dari proses demokrasi. Apabila dalam lapangan massa demonstrasi ricuh,
seharusnya aparat harus tetap mengedepankan keamanan dan keselamatan, bukan
menggunakan pemaksaan fisik untuk memukul mundur massa.
Tiga tahun berlalu,
tetapi tujuh tuntutan yang diajukan oleh para mahasiswa terabaikan begitu
saja. Situasi ini seolah-olah
kepentingan rakyat bukanlah prioritas utama dan bukan nomor satu, melainkan
nomor kesekian. Terjadi anomali dalam demokrasi di Indonesia. Tuntutan
Reformasi sebagai pegangan konsolidasi demokrasi tidak lagi dipedomani. Justru
semangat yang tertuang dalam tuntutan Reformasi pelan tapi pasti terus
dikorupsi. Dewan Perwakilan Rakyat menyandang gelar sebagai “Perwakilan Rakyat”
yang mana dalam hal ini tentu saja DPR seharusnya membuat berbagai keputusan
atas dasar kehendak rakyat. Namun, dalam pelaksanaannya justru berbagai
peraturan yang dibuat oleh DPR mendapatkan kritik dari rakyat. Entah bagaimana
proses pembahasan setiap rancangan undang-undang yang terjadi di dalam ruang
rapat sana. Dalam negara hukum yang demokratis, rakyat sangat berperan dalam
pengambilan berbagai keputusan. Sudah seharusnya pembentukan undang-undang
melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat. Pendapat dan kritik dari
masyarakat dipertimbangkan dengan matang, dan prosesnya harus dilakukan dengan
transparan bukan secara diam-diam. Tanpa adanya transparansi, partisipasi dari
masyarakat akan sulit untuk diwujudkan yang mana nantinya akan berimplikasi
pada tak ber-arahnya demokrasi di Indonesia.
Penulis : Siska Utami
Editor : Putri Zahra dan Sal Sabillah Nur
Aisyah
Sumber Gambar:
Siska Utami