img-post

Geen straf zonder schuld 

Tiada hukum tanpa kesalahan.

 

gemakeadilan.com – Begitulah sepatutnya hukum hadir. Bukan untuk menghukum orang yang tidak bersalah. Adagium tersebut senada dengan terjadinya pergeseran paradigma dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan pidana mati yang sebelumnya telah diatur dalam KUHP yang berlaku selama ini. Sebelumnya pidana mati pada KUHP lama diatur sebagai pidana pokok, tetapi setelah mengalami perubahan ke KUHP baru, pengaturan pidana mati dijadikan pidana alternatif/khusus.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu dosen yang juga termasuk dalam salah satu perumus KUHP baru yakni Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum. yang menyatakan bahwa pergeseran paradigma tersebut berawal dari adanya realitas dua kelompok di dalam masyarakat Indonesia dalam memandang dan menanggapi eksistensi pidana mati. Kelompok tersebut terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang menolak pidana mati disebut juga kelompok Abolisionis. Kedua, kelompok yang mempertahankan pidana mati disebut juga kelompok Retensionis. Menyikapi kedua kelompok tersebut, pemerintah akhirnya mengambil jalan tengah dengan menempatkan pidana mati sebagai pidana alternatif/khusus di KUHP baru.

Tak dapat dipungkiri bahwa dalam realitas sosial, terdapat beberapa masyarakat yang masih menghendaki eksistensi pidana mati bagi tindak pidana tertentu. Hal ini tentunya mendapat tentangan dari masyarakat yang menolak hadirnya pidana mati karena dianggap melanggar hak hidup yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Meskipun demikian, pidana mati masih tetap dapat diterapkan berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 6 ayat 2 perjanjian tersebut yang mana dijelaskan bahwa “Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang”.

Pada pengaturan lama, pidana mati dulunya bersifat non-evaluatif, artinya jika pelaku telah dijatuhkan hukuman mati dan pidana mati telah dilakukan, maka tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun lagi. Hal ini tentunya berpotensi menimbulkan tragedi bilamana pelaku yang telah dipidana mati tersebut di kemudian hari justru terbukti tidak melakukan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Selain itu, penundaan eksekusi pidana mati yang sering terjadi membuat kepastian hukum bagi pelaku terpidana mati menjadi kabur. Maka dari itu di pengaturan KUHP baru diberi masa percobaan 10 tahun sebelum dilakukannya pidana mati supaya menjamin kepastian hukum, baik kepastian bahwa pelaku benar-benar melakukan tindak pidana dan kepastian bahwa pelaku akan diekskusi atau tidak, sehingga melalui masa percobaan tersebut, pelaku masih dimungkinkan untuk melakukan berbagai upaya hukum dan mendapat kepastian hukum mengenai eksekusi pidana matinya. Oleh karena diberi masa percobaan 10 tahun, pidana mati pada KUHP baru disebut pidana mati bersyarat.

Pengaturan pidana mati di KUHP baru ini juga menjadikan pidana mati sebagai pidana yang bersifat eksepsional, artinya pidana mati hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila benar-benar diperlukan. Bahkan dimuat dua syarat yang memungkinkan hakim menjatuhkan pidana mati, yaitu rasa penyesalan terdakwa dan diharapkan pelaku memperbaiki diri atau peran pelaku dalam tindak pidana (Pasal 100 ayat (1) KUHP Nasional). Pidana mati juga dipandang bersifat khusus karena dalam penjatuhan pidana mati harus dijadikan upaya terakhir ketika sarana atau sanksi lain tidak lagi memadai. Selain itu, penerapan pidana mati juga dialternatifkan dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara maksimal 20 tahun bilamana pelaku telah dianggap berkelakuan baik. Penilainan terhadap kelakuan baik pelaku dilakukan saat proses pembinaan dalam waktu 10 tahun masa percobaan. Jika dalam jangka waktu 10 tahun tersebut pelaku menunjukkan perubahan perilaku yang menghilangkan faktor kriminogen pada diri pelaku, maka melalui Keputusan Presiden pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara maksimal 20 tahun. Namun, apabila pelaku menunjukkan hal sebaliknya, maka jaksa agung dapat memerintahkan untuk melakukan eksekusi pidana mati terhadap terdakwa setelah masa percobaan 10 tahun. Di sini dapat terlihat bahwa pengaturan baru mengenai penerapan pidana mati telah mengakomodasi salah satu tujuan pemidanaan dalam KUHP baru, yakni pembinaan pelaku.

Pemberian masa percobaan pada pidana mati ini tentunya membawa polemik di dalam masyarakat. Beberapa pihak menilai bahwa masa percobaan pada pidana mati berpotensi menjadi ladang praktik jual-beli surat berkelakuan baik terhadap pelaku terpidana mati oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Maka dari itu guna meminimalisasi terjadinya praktik semacam itu, pelaksanaan pidana mati akan dibuatkan pengaturan lengkapnya pada peraturan-peraturan turunan dan dilakukan evaluasi lembaga-lembaga yang relevan terlibat dalam pemberian surat berkelakuan baik sebagai syarat pengubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau pidana maksimal 20 tahun.

 

Penulis: Khaiqal Pranata

Editor: Agistya Dwinanda

Sumber Gambar: shouselaw.com