img-post

gemakeadilan.com- Sejak munculnya kasus Covid-19 pertama di Indonesia yang dialami oleh ibu dan anak asal Depok pada bulan Maret 2020, penyebaran Covid-19 kian masif dan tidak terkendali. Menurut data dari laman covid19.go.id, per tanggal 15 Juli 2021, sudah terkonfirmasi kasus positif Covid-19 sebanyak 2.670.046 kasus, dengan 443.473 diantaranya kasus aktif. Bahkan, sebuah media dari Negeri Sakura, Nikkei, menyebut Indonesia menyalip India sebagai pusat episentrum baru Covid-19 di Asia dengan infeksi per hariannya melebihi 40 ribu kasus selama dua hari berturut-turut.

 

Bagaimana tidak, pada Selasa (13/07),  Indonesia melaporkan adanya 47.899 kasus infeksi baru, sekaligus juga menjadi sebuah rekor positif per hari yang dialami oleh bangsa Indonesia. Kurva penyebaran Covid-19 yang pada awal hingga pertengahan tahun 2021 mulai nampak turun, kini kembali mengalami kenaikan. Kembali naiknya angka penyebaran virus Covid-19  ini diawali dengan perpindahan massa secara masif imbas dari hari raya Idul Fitri, baik untuk mengujungi sanak keluarga maupun untuk bertamasya. Selain itu, munculnya varian baru, yaitu varian Delta menjadi faktor lainnya dari peningkatan jumlah infeksi Covid-19, sebab penyebarannya yang relatif lebih mudah dan cepat.

 

Adapun, peningkatan jumlah infeksi Covid-19 beberapa bulan ini menyebabkan tenaga dan fasilitas kesehatan kewalahan. Sebagai salah satu contoh ialah apa yang terjadi di Semarang, fasilitas-fasilitas kesehatan yang bisa melayani kasus Covid-19 hingga tempat-tempat yang disediakan pemerintah untuk melakukan isolasi mandiri tidak bisa lagi menampung banyaknya jumlah masyarakat yang membutuhkan tempat tersebut. Alhasil, tidak jarang kasus kematian kita dengar akibat tidak sempat mendapatkan pertolongan saat sedang dalam keadaan darurat akibat dampak dari terinfeksinya orang tersebut dengan virus Covid-19. Bahkan, seorang Bupati Bekasi pun sempat tidak bisa mendapatkan rumah sakit, sampai akhirnya beliau wafat karena terinfeksi Covid-19.

 

Hal demikian memaksa pemerintah untuk bisa mengeluarkan suatu kebijakan yang taktis dan solutif. Dalam hal ini, baik pemerintah pusat maupun daerah terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dianggap bisa menyelesaikan masalah. Salah satu diantara banyaknya kebijakan tersebut yaitu mempercepat vaksinasi secara masif. Secara definitif, vaksinasi adalah suatu proses memasukkan vaksin (produk biologi yang berisi antigen) melalui suntikan atau mulut ke dalam tubuh untuk menstimulasi sistem imun tubuh yang dapat memancing kebalnya imun tubuh terhadap suatu penyakit tertentu. Dalam pelaksanaan percepatan vaksinasi tersebut, Indonesia memakai 6 jenis vaksin yang diimpor dari berbagai penjuru dunia, seperti Sinovac, AstraZaneca, Sinopharm, Moderna, dan Pfizer yang efektivitasnya juga berbeda tiap jenisnya.

 

Vaksinasi di Indonesia sejatinya telah mulai digencarkan sejak awal tahun 2021. Menurut Juru Bicara Kementrian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmidzi, proyeksi penyelesaian waktu vaknisasi untuk mencapai total populasi sebesar 181,5 juta orang akan membutuhkan waktu selama 15 bulan, terhitung dari Januari 2021 sampai Maret 2022. Pemerintah sendiri sejatinya telah mengeluarkan landasan hukum untuk menyukseskan percepatan vaksinasi di Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) atau Permenkes 10/2021.

 

Akan tetapi, pelaksanaan vaksinasi ini mengalami beberapa hambatan. Salah satu penyebabnya yakni adanya kelompok masyarakat yang menolak vaksinasi dan menolak dipergunakannya vaksin sebagai metode penyelesaian pandemi. Menurut data dari Kemenkes, terdapat sebesar 33% warga Indonesia yang tidak yakin dan menolak vaksin Covid-19. Dokter Siti Nadia Tarmizi mengatakan bahwa data ini diperoleh dari survei yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan selama periode April - Mei 2021. Dari data tersebut diketahui bahwasanya dari 33% masyarakat yang menolak untuk divaksin, 18.6% diantaranya berasal dari kelompok yang berpendidikan tinggi.

 

Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh junior researcher Institute of Policy Development, Rizki Ardinanta, yang disampaikan melalui webinar yang dilakukan oleh Gamapi Fisipol UGM (04/03), ada lima alasan mengapa terjadi penolakan dan keraguan terhadap vaksin. Antara lain, takut dengan efek samping yang ditimbulkan, takut dengan keamanan vaksin, ragu dengan efektivitas vaksin tersebut, tidak percaya tanpa alasan yang ditemui di kalangan antivaksin, serta termakannya masyarakat dengan hoaks-hoaks yang ditimbulkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang mana sering kali hoaks tersebut dibalut dengan narasi yang seolah-olah membuat vaksin itu dilarang oleh agama. 

 

Sejalan dengan Rizki, dr. R. Yuli Kristanto, M.Sc., Sp.A. selaku dokter RSUD Sleman serta Pengamat Gerakan Antivaksin mengutarakan bahwasanya terdapat tiga konsep yang kerap digaungkan oleh para penolak vaksin. Ketiga konsep tersebut diantaranya vaksin Covid-19 berbahaya, membawa narasi halal-haram vaksin, serta tidak diperlukannya vaksin karena ada alternatif pengobatan, yaitu cuci hidung. Namun, hal tersebut dibantah oleh para ahli kesehatan, ahli agama, dan teori-teori kesehatan.

 

Belakangan ini, permasalahan lainnya juga timbul, yaitu polemik dilakukannya vaksinasi berbayar. Pemerintah melalui anak BUMN-nya, yaitu PT Kimia Farma Persero mengumumkan akan diterbitkannya vaksin gotong royong untuk perorangan, yang juga tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Permenkes 10/2021. Gelombang besar penolakan masyarakat pun terjadi akibat adanya wacana demikian, masyarakat beranggapan bahwasanya tidak etis bagi sebuah negara yang pelaksanaan vaksinasinya belum masif dan menyeluruh, tetapi malah mengomersialkan vaksin yang sekarang masih menjadi kebutuhan utama rakyat. Alhasil, tidak lama setelah penolakan terjadi, pemerintah membatalkan wacana tersebut.


       

Penulis: Bima Satya Ginting

Editor: Widyani Putri