img-post

gemakeadilan.com – Rubrik feature kali ini membawa saya untuk melakukan riset mengenai topik yang sekiranya menarik untuk dibahas. Renungan panjang akhirnya mengantarkan saya untuk menghubungi kakak kelas sewaktu saya masih SMP di Purwokerto. Namanya Rizky Mahatvavirya Wijaya, saat ini belajar sebagai mahasiswa program studi Seni Karawitan di Institut Seni Indonesia Solo (ISI Solo). Perkenalan saya saat SMP dengan dia dapat dikatakan cukup menarik. Saat itu, lapangan yang terik saat kegiatan pemilihan Ketua OSIS membuat saya mencari tempat untuk berteduh. Rupanya di bawah pohon rindang sudah ada seorang anak yang duduk, kelihatannya sama-sama sedang menghindari acara yang sedikit sia-sia itu. Sebagai seorang siswa yang baik hati dan tahu tata krama, saya memberanikan diri untuk berkenalan dan mohon izin untuk bergabung. Bagai gayung bersambut, percakapan kami berlanjut. Pada awalnya obrolan kami hanya sebatas menanyakan kelas dan guru yang diajar, namun entah bagaimana obrolan berlanjut pada topik yang cukup menarik bagi saya, yaitu cerita perwayangan.


Cukup berbeda dengan anak seusianya yang cenderung lebih menggemari superhero Marvel dan sejenisnya, Rizky memiliki ketertarikan yang cukup mendalam pada budaya Jawa sedari usia muda. Masih hangat dalam ingatan saya pada saat itu bagaimana Rizky menceritakan peperangan Mahabarata dan Arjuna dengan istilah-istilah Jawa asing yang tentu saja tidak saya pahami, namun cukup membuat saya tertarik untuk terus mendengarkannya.


Maka dari itu, dibekali niat mulia menjalin silaturrahmi dan memenuhi tugas menulis, saya meminta kesediaan Rizky untuk ngobrol dalam satu sesi wawancara yang tidak terlalu serius. Awalnya dia ragu dengan topik yang ingin saya angkat, tapi saya terus berusaha untuk membujuknya. Emangnya mau bahas apa? Kalau mendalam tentang kebudayaan Jawa seperti wayang dan karawitan dari sudut pandang akademis, saya punya kenalan yang jauh lebih kompeten untuk menjawab pertanyaanmu ketimbang saya, wong saya juga masih belajar ibaratnya,” tukasnya. “Wes mas santai wae kita ngobrol-ngobrol, jawab seyakin masnya saja,” ujarku meyakinkan. “Yowes tapi mohon maaf loh ya kalau nanti tidak terlalu menjawab,” timpalnya. “Nggih mas,  jawabku mengakhiri percakapan via Instagram itu. Hujan deras malam itu menghalangi rencana awal kami untuk bertemu di salah satu angkringan yang cukup terkenal di kota. Mengingat deadline menulis yang tinggal menghitung hari membuat saya tanpa banyak pikir menawarkan untuk melanjutkan diskusi melalui daring, syukur ia setuju.


Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya Rizky muncul dalam meeting room dengan sambutan virtual background videonya yang menampilkan seperangkat gamelan, sangat njawani. Penampilannya tidak jauh berbeda semenjak terakhir saya bertemu dengannya, hanya rambutnya yang dibiarkan cukup panjang khas stereorip anak seni. Percakapan awal kami hanya seputar menanyakan kabar masing-masing, bagaimana kondisi perkuliahan dan kapan berangkat ke kampus offline. Hingga kemudian perlahan masuk pada topik yang ingin saya ulas dalam tulisan saya.


Alasan awal saya masuk jurusan karawitan ini kalau mau jujur sebenarnya sederhana, pengen bisa main rebab. Sebenarnya sejak aku SD, dulu aku seneng nonton wayang. Terus lihat orang bermain rebab, kok ya hebat ya, bisa keluarin cengkok, seneng yo seneng, nglangut yo nglangut, sederhana namun berperan penting dalam memberikan unsur rasa dalam suatu pertunjukan,” ujarnya. Rebab adalah salah satu instrumen alat musik Jawa yang mirip seperti biola. “Dari ketertarikan sederhana itu, setelah merasakan dinamika perkuliahan akhirnya saya menemukan alasan lain yang jauh lebih penting,” pungkasnya menyambung pernyataan sebelumnya.


Rebab

Rizky menyebutkan bahwa realita saat ini cukup banyak anak muda yang berminat dalam seni karawitan, namun ia rasa belum cukup terwadahi. “Hanya memiliki keterampilan saja, tanpa diimbangi dasar intelektual yang baik”, ujar Rizky. Fakta ini yang kemudian membuat Rizky bertekad untuk mempelajari seni karawitan dari sisi akademis. “Ibarate ora mung teyeng nabuh (ibaratnya tidak hanya bisa memainkan), bisa juga menjelaskan dan mengaitkan sejarah fenomena musik lain yang kebanyakan orang tidak tahu,” imbuhnya. Ia berharap pilihannya ini dapat terwujud sebagai bentuk baktinya kepada bangsa Indonesia, entah itu sebagai pengajar atau praktisi di masa depan. “Nguri-nguri budaya (menghidupkan budaya),” ucap Rizky.


Pembahasan ini kemudian membuat saya tertarik membahas seni pertunjukan wayang secara menyeluruh. “Sebenarnya antara karawitan dan pedalangan ini saling berkaitan dan berkesinambungan tapi tidak dapat terpisahkan,” ungkapnya. Rizky menjelaskan bahwa seni karawitan sendiri banyak menyadur sumber-sumber dari pedalangan, khusususnya dalam bidang sastra seperti syair. “Pedalangan ini lebih kompleks, dalang itu harus bisa mengharmonisasikan pikiran, ucapan, pendengaran dan kelincahan tangan di saat yang bersamaan. Ditambah lagi dalang harus mampu berperan (dalam drama) untuk lebih dapat menyampaikan cerita kepada penonton,” jelasnya.


Obrolan malam itu mengalir begitu saja. Banyak pertanyaan yang saya ajukan pada Rizky yang salah satunya adalah pertanyaan tentang keberjalanan perkuliahan di jurusan seni karawitan. Apakah setiap hari kuliah diisi dengan menabuh kendang dan menggesek rebab? Begitu pertanyaan yang muncul dalam benak saya begitu membahas tentang jurusan seni karawitan. Persepsi saya itu diluruskan oleh Rizky. “Jadi satu alat itu dibagi menjadi empat pertemuan dalam satu minggu. Tiga pertemuan untuk ricikan (instumen) seperti rebab, kendhang, gendher yang satu hari untuk yang bersama-sama, ujarnya. Rizky menjelaskan bahwa dalam karawitan aliran Surakarta, seorang pengrawit dapat dikatakan sudah baik dilihat dari cara mereka bermain rebab, kendhang dan gendher.


Karena tertarik dengan perbedaan aliran karawitan Surakarta dan Yogyakarta, saya menanyakan lebih lanjut mengenai hal itu. “Karakter karawitan Yogyakarta itu lebih maskulin, luwih lanang (lebih laki-laki) dan lebih prasojo (sederhana) karena dulunya pengrawit Kesultanan Hadiningrat Yogyakarta itu bekas prajurit semua, bekas pengikut pangeran Mangkubumi yang menjadi pengrajin karawitan dan menciptakan laras-laras,” ungkapnya. “Lah nek aliran Surakarta, karakteristiknya lebih feminin, rasanya lebih pernes (lembut) dan punya wiltetan (variasi) yang lebih kompleks, dan nantinya hasilnya akan lebih kompleks juga.


Bonang


Saya pun menyinggung tentang hal-hal berbau mistis yang masih menjadi stereotip. “Aku memandang itu lebih kepada kepercayaan pribadi saja, local wisdom. Bukan berarti hanya gamelan punya kaitan mistis, budaya Jawa dalam kesehariannya memang erat dengan hal-hal mistis, ya itu tidak bisa dilepaskan karena termasuk unsur yang menyokong budaya,” ujarnya. “Sebenarnya kepercayaan seperti itu bermaksud melindungi juga. Ada yang bilang kalau ngelangkahi bonang nanti nda bisa buang air kecil gitu, ya tujuannya secara tersirat lebih ke menghormati dan menjaga keluruhan budaya itu sendiri bukan hanya alatnya. Karakteristik orang Jawa dalam menyampaikan sesuatu memang tidak langsung, melainkan memakai kiasan yang harus ditelaah dulu maknanya, seperti itu”. Ia pun menambahkan bahwa memang ada keunikan dari alat musik ini jika dibandingkan alat musik lain. Lah wong uniknya, setiap set gamelan punya karakteristik yang berbeda. Ibaratnya penglaras (pemain) yang sama jika disuruh melaras gamelan berbeda meskipun memakai larasan yang sama, pasti akan menghasilkan harmoni suara yang berbeda.”


Sebagai penutup, Rizky memberikan pesan masukan untuk anak muda. “Ya apapun hidup yang akan kamu lalui, setidaknya kamu harus tahu  bahwa leluhur kamu itu punya budaya dan warisan yang harus dijaga dan dilestarikan. Tidak harus jadi pelaku, tapi setidaknya jangan membenci atau antipati, banyak hal positif dan dapat menjadi pedoman buat kehidupan kita ini.


 


Penulis: Atmakeno Daniswara

Editor: Vanya Jasmine

Sumber Gambar: Instagram @rizkymahatvaviryawijaya