img-post

gemakeadilan.com - Lika-liku perjalanan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau yang sering disebut dengan omnibus law akhirnya bermuara pada disahkannya RUU tersebut menjadi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Omnibus law sendiri merupakan sebuah konsep pembuatan  regulasi yang menggabungkan beberapa aturan dari substansi yang pengaturannya berbeda. Pada prosesnya, penyusunan draf RUU Cipta Kerja sering berubah, mulai dari yang semula 1.200 halaman kemudian berkurang menjadi 800 halaman, lalu bertambah lagi menjadi 1.000 halaman yang selanjutnya disahkan pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menjadi UU Cipta Kerja.

 

Sejak awal pembentukannya, UU Cipta Kerja telah menuai banyak pro-kontra dari masyarakat dikarenakan dinilai memuat beberapa pasal kontroversial yang berujung pada penolakan. Gelombang penolakan terjadi baik dalam lingkup akademik melalui forum-forum diskusi mahasiswa, para ahli, hingga penolakan melalui aksi massa yang datang dari masyarakat sipil khususnya buruh yang merasa undang-undang tersebut dianggap tidak memihak kepada mereka. Selain dari sisi substansi, proses pembentukan RUU Cipta Kerja juga ditentang oleh banyak kalangan karena tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar serta sistematika pembentukan undang-undangnya tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni tidak memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi bermakna. Omnibus law yang diharapkan dapat mengatasi hyper regulation dan sebagai bentuk harmonisasi peraturan perundang-undangan nyatanya justru memunculkan PR baru untuk membuat aturan turunan yang banyak dan tidak efisien.

 

Oleh karena itu, beberapa kelompok masyarakat melakukan uji formil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan hukum, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK menyatakan  pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat) sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan”. Selain itu, MK juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang, yakni Presiden dan DPR untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan itu diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU Cipta Kerja menjadi tidak berkekuatan hukum secara permanen (inkonstitusional permanen). Artinya, UU Cipta Kerja tersebut akan tetap berlaku sampai diundangkannya UU Cipta Kerja baru dalam tenggat dua tahun sejak dikeluarkannya Putusan MK tersebut.

 

Namun, alih-alih membuat UU baru, pada Jumat (30/12), Presiden Joko Widodo justru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja  (Perppu Cipta Kerja) sebagai jalan pintas untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang telah dibatalkan oleh MK. Bagi pemerintah, Perppu tersebut merupakan “kado” akhir tahun bagi masyarakat Indonesia. Akan tetapi, bukannya disambut dengan sukacita, terbitnya Perppu Cipta Kerja ini justru lagi-lagi menuai kritik dari masyarakat karena isi Perppu tersebut dinilai merugikan masyarakat dalam berbagai hal, seperti ketentuan mengenai upah, jam kerja, maupun ketentuan tenaga kerja asing. Selain karena substansinya, lagi-lagi proses pembuatan Perppu ini dinilai tidak memperhatikan asas keterbukaan dan melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat. Alhasil, saat Perppu Cipta Kerja tersebut disahkan menjadi UU Cipta Kerja pada Selasa (21/3) lalu, banyak masyarakat yang memprotes pengesahan tersebut.

 

Pada dasarnya, kedua UU Cipta Kerja yang telah diterbitkan pemerintah ini memiliki tujuan untuk  mempercepat pertumbuhan ekonomi negara dan merupakan salah satu program Nawacita Presiden Jokowi guna mewujudkan kemandirian di bidang ekonomi. Perlambatan ekonomi, ketidakpastian perekonomian global, gejolak geopolitik dunia, tingginya angka pengangguran, dan kurangnya jumlah lapangan kerja serta pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 5 tahun terakhir berkisar di angka 5% sehingga perlu pertumbuhan yang lebih tinggi untuk mencapai visi “Indonesia Maju” menjadi alasan dibentuknya Perppu ini.

 

Namun, dengan proses penyusunan regulasi yang tertutup dan tidak transparan tersebut, tidak heran jika niat baik pemerintah itu, oleh sebagian besar masyarakat dirasa hanya untuk mewakili kepentingan kelompok masyarakat tertentu saja. Bagi masyarakat kecil, apa yang disebut “niat baik” tersebut hanya ditujukan untuk mewakili kepentingan kelompok-kelompok tertentu dan merugikan mereka. Maka tidak heran jika terbitnya UU maupun Perppu Cipta Kerja memicu terjadinya berbagai aksi-aksi untuk mewujudkan apa yang seharusnya  menjadi “niat baik” tersebut.

 

 

 

Sumber gambar: www.bikincv.com

Penulis: Agistya Dwinanda, Alya Nelvina Zhavira

Editor: Aliv Izzul Haq, Muhammad Victor Ali