img-post

gemakeadilan.com – Di pinggiran stasiun kereta api, seorang remaja laki-laki terduduk dengan kondisi yang amat menyedihkan. Tubuhnya sangat kurus dan kotor. Pakaiannya pun tak kalah kotornya ditambah dengan sobekan di sana sini. Orang di sekitar menatapnya dengan jijik. “Menjijikkan! Dasar gelandangan!” Ucap mereka. Tak lama setelahnya, tubuh ringkih remaja itu ambruk ke tanah. Pada 21 September 1945, remaja bernama Seita itu meninggalkan dunia yang sudah begitu kejam kepadanya untuk selama-lamanya.


Kisah di atas merupakan adegan pembuka dalam film animasi Grave of the Fireflies atau dalam bahasa Jepang disebut Hotaru no Haka yang memiliki arti kuburan kunang-kunang. Film tersebut diproduksi oleh studio ternama dari Jepang, Studio Gibli pada tahun 1988 dengan disutradarai oleh Isao Takahata. Dalam film ini, kita diajak untuk menjelajahi masa sebelum kematian Seita, yaitu pada saat Perang Dunia II masih bergejolak di Jepang.


Saat itu Seita masih berusia 14 tahun. Ia tinggal di Kobe bersama ibu dan adik perempuannya yang berusia 3 tahun karena ayahnya yang seorang prajurit angkatan laut harus terjun ke medan perang. Suatu hari, tentara Amerika membombardir Kobe melalui jalur udara. Para warga berlari tunggang langgang untuk menyelamatkan diri, tetapi banyak di antara mereka yang harus meregang nyawa karena derasnya hujan bom yang dijatuhkan tentara Amerika. Untungnya, Seita dan adiknya, Setsuko, berhasil selamat, namun ibu mereka meninggal dunia akibat pengeboman tersebut. Dari sinilah perjuangan Seita dan Setsuko untuk bertahan hidup di tengah perang dunia dimulai.


Setelah kematian sang ibu, Seita dan Setsuko menumpang di rumah bibi mereka karena rumah mereka sudah hancur oleh bom. Pada awalnya, kehidupan bersama sang bibi berjalan dengan baik karena sang bibi bersikap baik pada mereka. Mereka mendapat tempat tinggal yang layak dan makanan yang cukup. Namun, karena kondisi perekonomian yang terus memburuk akibat perang, persediaan bahan makanan di rumah sang bibi semakin menipis. Sang bibi mulai menunjukkan keberatannya atas kehadiran Seita dan Setsuko. Di sisi lain sang ayah juga tidak kunjung membalas surat yang dikirim Seita. Puncaknya, sang bibi mencaci maki mereka dengan menyebut mereka sebagai hama, sehingga Seita dan Setsuko akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah sang bibi dan tinggal di gua buatan yang sudah tidak digunakan. Namun, lagi-lagi kedua saudara tersebut mengalami kesulitan untuk mendapat makanan. Hal itu mengakibatkan Setsuko jatuh sakit akibat malnutrisi. Di saat yang sama, Seita juga mendengar bahwa ayahnya gugur dalam perang. Seita sangat terpukul mendengar berita tersebut karena kini ia harus merawat adiknya yang sakit parah sendirian. Tidak lama kemudian, Setsuko, sang adik tercinta pun meninggal dunia mengikuti kedua orang tua mereka. Sejak saat itu, Seita hidup sebatang kara hingga ajal menjemputnya.


Film Grave of the Fireflies merupakan film yang mengambil latar belakang zaman peperangan. Alih-alih menggambarkan kisah heroik seorang pahlawan yang berjuang di garis terdepan untuk membela negaranya seperti pada film bertema peperang pada umumnya, kisah heroik di film ini justru digambarkan dalam wujud seorang anak berusia 14 tahun yang menjadi tulang punggung bagi adiknya di tengah situasi perang. Film ini menggambarkan kejamnya peperangan dari sudut pandang anak-anak. Anak-anak memang tidak merasakan bagaimana rasanya berhadapan dengan musuh secara langsung, namun mereka turut merasakan dampak dari kejamnya perang seperti yang terjadi pada Seita dan Setsuko dalam film ini. Masa kanak-kanak yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan berubah menjadi penuh penderitaan karena rumah dan sekolah mereka hancur, orang tua mereka meninggal, mereka juga kelaparan dan sakit-sakitan. Penderitaan tersebutlah yang akhirnya mematikan keceriaan anak-anak tidak berdosa ini secara perlahan. Dalam film Grave of the Fireflies kita juga diperlihatkan bagaimana kejamnya perang mematikan rasa kemanusiaan antar sesama manusia, seperti bibi Seita yang menjadi egois dan kehilangan empatinya karena tekanan ekonomi selama perang.


Dengan alur cerita yang sangat mengharukan dan menyedihkan ini, maka tidak heran sejak ditayangkan secara perdana pada 16 April 1988, film Grave of the Fireflies tidak pernah gagal untuk membuat penonton ikut meneteskan air mata karena kisah Seita dan Setsuko di film ini. Film ini cukup sukses di box office Jepang, di mana film tersebut meraup pendapatan sebesar 1,7 miliar yen. Sedangkan di Amerika Serikat, film tersebut meraup pendapatan sebesar 516.962 dollar. Film ini juga mendapat skor rata-rata 9.3/10 di situs ulasan film Rotten Tomatoes. Pada tahun 2005, Grave of the Fireflies dibuat ulang dengan versi live action. Lalu pada tahun 2008, versi live action dari Grave of the Fireflies kembali dibuat untuk kedua kalinya.


Film Grave of the Fireflies dapat menginspirasi kita untuk belajar lebih mensyukuri dan menghargai keberadaan keluarga sebagai tempat berlindung, tempat berkeluh kesah, hingga tempat untuk berbagi beban hidup. Berat rasanya jika kita membayangkan berada di posisi Seita yang menjadi yatim piatu ketika usianya masih sangat prematur untuk bisa menghidupi dirinya sendiri dan sang adik di tengah situasi perang. Oleh karena itu, kisah pilu Seita dan Setsuko seharusnya juga dijadikan pengingat, khususnya bagi para pemimpin agar tidak egois dan selalu mengedepankan perdamaian dalam setiap kebijakannya. Pun bagi kita generasi muda yang merupakan calon pemimpin bangsa di masa depan jangan sampai anak-anak kembali menjadi korban dari kejamnya perang.

 

Penulis: Agistya Dwinanda

Editor: Vanya Jasmine

Sumber gambar: https://www.tasteofcinema.com