img-post

gemakeadilan.com - Konflik Palestina-Israel sedang ramai diperbincangkan di seluruh kanal berita baik nasional maupun internasional dalam beberapa waktu terakhir. Serangan dari kelompok militan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober lalu menimbulkan reaksi dari Israel, yang kemudian mendeklarasikan perang terhadap Hamas. Perang ini telah mengakibatkan ribuan korban berjatuhan sehingga mendapatkan perhatian luas dari masyarakat maupun organisasi internasional, utamanya yang bergerak di bidang kemanusiaan. Konflik Palestina-Israel telah bertahun-tahun menimbulkan polemik dan seakan-akan menciptakan dua kubu, yakni “pendukung Israel” vs. “pendukung Palestina”. Alasan di balik keberpihakan keduanya dilatarbelakangi oleh sejarah yang panjang dan rumit antara Israel dan Palestina.


Pada dasarnya, penyebab dari terjadinya konflik ini adalah perebutan wilayah antara Palestina dengan Israel. Awal dari munculnya konflik ini adalah ketika Gerakan Zionisme atau Nasionalisme Yahudi, yang dipopulerkan oleh seorang jurnalis berkebangsaan Austria bernama Theodore Herzl, mulai marak di Kawasan Eropa sebelum 1920-an. Gerakan ini menyebabkan terjadinya perpindahan masyarakat Yahudi dari Eropa ke Kawasan Timur Tengah. Pada saat itu, wilayah di Timur Tengah yang saat ini termasuk wilayah Israel dan Palestina masih berada di bawah kekuasaan Imperium Ottoman. Eksistensi Imperium Ottoman di Kawasan Timur Tengah berakhir setelah mengalami kekalahan pada Perang Dunia 1.


    Kekalahan Ottoman tidak hanya disebabkan oleh Inggris dan Prancis, melainkan juga oleh bangsa Arab sendiri yang berada di bawah kekuasaan Ottoman. Bangsa Arab memberontak kepada Imperium Ottoman karena janji Inggris untuk membantu pembentukan pemerintahan Arab yang independen apabila bangsa Arab mau melawan Ottoman. Janji Inggris kepada bangsa Arab ini tertuang dalam korespondensi antara Sir Mac Mahon (pejabat tinggi Inggris di Kairo) dengan Sharif Hussein (tokoh bangsa Arab) dan dikenal dengan sebutan Hussein-Mac Mahon Correspondence. Akan tetapi, janji Inggris terhadap bangsa Arab untuk membantu pembentukan pemerintahan Arab yang independen tidak segera diwujudkan.


    Inggris bersama dengan Prancis justru membuat perjanjian bilateral yang membagi bekas wilayah Imperium Ottoman untuk negara-negara Eropa. Perjanjian ini dikenal dengan sebutan Sykes-Picot Agreement. Dalam perjanjian tersebut, Inggris mendapatkan Yordania, Irak, dan sebagian wilayah Haifa, sedangkan Prancis mendapatkan wilayah Turki, Irak bagian utara, Suriah, dan Libanon. Sementara itu, negara-negara Eropa lain dibebaskan untuk memilih wilayah yang dikuasainya. Dalam Sykes-Picot Agreement, wilayah Palestina belum diserahkan kepada negara manapun sehingga dijadikan sebagai sebuah wilayah internasional yang dikelola secara bersama-sama oleh negara-negara pemenang perang. Dengan adanya Sykes-Picot Agreement, bangsa Arab tidak mendapatkan wilayah bekas Imperium Ottoman dan tidak mungkin dapat membentuk pemerintahan Arab yang independen. Namun, pada saat yang sama pula, Inggris justru berjanji untuk mendukung pendirian negara Yahudi di Palestina. Dukungan Inggris tersebut tercatat dalam dokumen Balfour Declaration yang menjadi landasan bagi gerakan zionisme untuk membentuk sebuah negara Yahudi di Palestina. Janji-janji Inggris kepada Arab dan Yahudi membuat kedua bangsa ini merasa berhak atas wilayah Palestina dan merasa mendapat dukungan dari Inggris. Inilah yang kemudian melatarbelakangi konflik Arab-Yahudi yang berkepanjangan hingga konflik Israel-Palestina.


    Pada tahun 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat sebuah proposal perdamaian untuk Arab dan Yahudi di Palestina, yaitu dengan membuat pembagian wilayah Palestina sehingga terbentuk negara Arab dan Yahudi secara terpisah. Proposal perdamaian yang dikenal dengan UN Partition Plan ini berisi pembagian wilayah Palestina sebesar 55% untuk negara Yahudi, dan 45% sisanya untuk negara Arab. Padahal secara demografis, komunitas Yahudi hanya mencakup sekitar 7% dari seluruh penduduk Palestina, dan 93% sisanya merupakan bangsa Arab. Dengan adanya ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan wilayah yang diberikan oleh PBB, protes dari bangsa Arab pun bermunculan. Kemarahan bangsa Arab semakin tersulut setelah bangsa Yahudi memproklamasikan berdirinya negara Israel. Negara Israel juga mendapat pengakuan dari Uni Soviet dan Amerika Serikat. Peperangan pun pecah antara bangsa Arab di Palestina dan Israel pada tahun 1948. Perang ini berujung bangsa Arab Palestina yang didukung oleh negara-negara Arab disekitarnya kalah melawan Israel. Peperangan ini dikenal dengan nama Perang Al-Nakba.


    Konflik berikutnya terjadi pada tahun 1967, antara Israel dengan negara-negara Arab (Mesir, Yordania, Suriah, dan Libanon). Perang yang dikenal dengan nama Six Days War ini kembali dimenangkan oleh Israel. Tidak hanya itu, Israel berhasil merebut wilayah Gaza dan Terusan Suez dari Mesir, Yerusalem Timur dan Tepi Barat Yordania, serta Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Konflik antara Arab dengan Israel masih berlanjut pada tahun 1973 dalam perang yang dikenal dengan nama Yom Kippur War. Dalam perang ini, bangsa Arab menang dan berhasil memaksa Israel untuk mengembalikan Semenanjung Sinai dan Gaza kepada Mesir melalui sebuah perjanjian perdamaian pada tahun 1979.


    Pada tahun 1988, Palestina dideklarasikan sebagai sebuah negara, meskipun pada tahun-tahun berikutnya PLO (Palestine Liberation Organization) tetap menjadi wakil Palestina untuk berjuang di forum internasional karena status Palestina sebagai negara yang berdaulat belum diakui secara internasional. Sejak saat itu konferensi perdamaian antara Israel dan Palestina mulai marak diselenggarakan oleh negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Rusia. Setelah itu, pada tahun 1991 dilaksanakan Madrid Conference, dilanjutkan dengan konferensi perdamaian Oslo Accords pada tahun 1993, serta Hebron Agreement dan Wye River Memorandum. Namun, seluruh kesepakatan perdamaian tersebut belum dapat menghasilkan perdamaian yang permanen antara Israel dan Palestina.


    Amerika Serikat kembali berupaya melakukan mediasi bagi perdamaian Israel dan Palestina dengan mengadakan pertemuan Camp David pada tahun 2000. Namun, pertemuan antara Bill Clinton, Ehud Barak, dan Yasser Arafat tersebut kembali tidak menghasilkan kesepakatan atau solusi perdamaian apa pun. Pada tahun 2007 kembali diadakan konferensi untuk membicarakan perdamaian Israel dan Palestina di Annapolis. Namun, kesepakatan perdamaian hasil dari Annapolis Conference juga masih belum diimplementasikan oleh kedua negara. Pasca tahun 2007, konflik antara Israel dan Palestina justru semakin rumit. Misalnya, pada akhir tahun 2008 hingga awal tahun 2009, konflik Israel-Palestina kembali memanas karena serangan bertubi-tubi selama beberapa pekan yang dilakukan Israel ke Palestina mulai tanggal 27 Desember 2008. Hal itu, kemudian memicu munculnya serangan-serangan balasan dari pihak Palestina. Dalam kurun waktu tersebut, konflik Israel-Palestina kembali menyita perhatian masyarakat dunia, terlebih karena begitu banyaknya korban, banyak di antaranya merupakan warga sipil termasuk anak-anak, yang berjatuhan. Konflik tersebut juga mengundang perhatian media-media massa di dunia, termasuk media-media nasional di Indonesia. Perseteruan antara Israel-Palestina masih terus berlanjut hingga tahun 2023 ini. 


Konflik Israel-Palestina telah memicu banyak reaksi dari masyarakat internasional. Berbagai perwakilan negara telah menyatakan keberpihakannya. Beberapa negara yang paling disorot atas dukungannya terhadap Israel adalah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Kanada. Di sisi lain, di penjuru dunia protes-protes yang menyuarakan dukungan terhadap Palestina dan seruan untuk gencatan senjata semakin meluas. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik Israel-Palestina sangat kental dengan politik, dan semakin diperumit dengan permasalahan agama serta kepentingan negara-negara yang terlibat di dalamnya. Namun, di luar itu, terdapat pula kekhawatiran yang tinggi terhadap pelanggaran terhadap kemanusiaan yang terjadi. Banyak pihak yang beranggapan bahwa persoalan ini sudah bukan lagi persoalan agama maupun politik, tetapi persoalan kemanusiaan. 


Berdasarkan data oleh United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), lebih dari 6.000 warga Palestina telah tewas akibat konflik Israel-Palestina sejak tahun 2008 dan lebih dari 150.000 mengalami luka-luka. Sedangkan terdapat lebih dari 300 warga Israel yang menjadi korban jiwa, dan lebih dari 6.000 mengalami luka-luka. Terdapat data publikasi media dan institusi lain yang mencatat jumlah korban yang lebih tinggi. Krisis yang terjadi di Gaza telah berkali-kali disebut sebagai krisis kemanusiaan. Bahkan, banyak pihak yang membela Palestina menyebut bahwa Israel melakukan kejahatan genosida terhadap warga Palestina. 


Kata genosida pertama kali diperkenalkan oleh seorang akademisi berdarah Polandia-Yahudi bernama Raphael Lemkin. Dalam tulisannya, Raphael Lemkin mengatakan bahwa kejahatan genosida mencakup tindakan yang luas, tidak hanya pembunuhan tapi juga mencegah adanya keturunan (aborsi, sterilisasi) dan juga sarana yang dianggap membahayakan nyawa dan kesehatan (pemisahan keluarga secara paksa dengan tujuan untuk mengurangi populasi, dan sebagainya). Tindakan-tindakan tersebut ditujukan terhadap suatu kelompok dan beberapa individu yang menjadi anggota dari kelompok tersebut. Genosida adalah sebuah kejahatan yang menyangkal keberadaan sekelompok manusia karena alasan ras, etnis, agama, atau bangsa. Unsur internasional dari kejahatan ini adalah “niat khusus” (dolus specialis) pelaku untuk menghancurkan empat kelompok sasaran yang dilindungi, yakni bangsa, etnis, ras, dan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Konvensi Genosida 1948 dan Pasal 6 Statuta Roma 1998. Selanjutnya, Pasal 1 Konvensi Genosida 1948 juga menjelaskan bahwa genosida dilarang untuk dilakukan baik dalam waktu perang maupun dalam masa damai karena merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.


Apakah tindakan Israel terhadap Palestina dapat dikategorikan sebagai kejahatan genosida? Berdasarkan artikel yang dipublikasi oleh United Nations Human Rights Office pada 16 November 2023, lebih dari 20 ahli independen PBB menyuarakan kekhawatiran mengenai potensi terjadinya genosida di Palestina. Hal ini dikarenakan meningkatnya bukti bahwa terjadi hasutan genosida dengan niat terang-terangan untuk “menghancurkan rakyat Palestina”, seruan keras untuk melakukan 'Nakba Kedua' di Gaza dan seluruh wilayah Palestina yang diduduki, dan penggunaan persenjataan yang kuat dengan dampak yang tidak pandang bulu. Mereka menekankan kegagalan Israel dalam mematuhi hukum internasional, yang mengakibatkan ribuan korban jiwa berjatuhan di Gaza.


    Tindakan Israel yang menghancurkan rumah-rumah ribuan warga Palestina dan melakukan tindakan kekerasan kepada warga Palestina dalam beberapa tahun terakhir menurut hukum internasional merupakan cara yang ilegal. Sudah lebih dari 70 tahun terakhir, hukum internasional menegaskan bahwa hukuman kolektif dilarang keras di hampir semua keadaan. Sayangnya, terkait penghancuran rumah warga Palestina oleh Israel, sulit bagi badan-badan internasional untuk menegakkan larangan tersebut. Aturan soal bagaimana otoritas pendudukan (occupying powers) yaitu negara yang menduduki suatu teritori harus memperlakukan warga sipil yang diduduki tercakup dalam Konvensi Jenewa Keempat. Pasal 33 dari Konvensi itu menyatakan: “Tidak ada individu yang dilindungi yang boleh dihukum atas pelanggaran yang tidak dilakukannya sendiri. Hukuman kolektif serta semua tindakan intimidasi atau terorisme sepenuhnya dilarang.” Pasal tersebut juga menegaskan: “Pembalasan terhadap individu yang dilindungi dan properti mereka adalah tindakan yang dilarang.” Oleh karena Israel adalah otoritas pendudukan di mata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta di bawah ketentuan Konvensi Jenewa Keempat dan Konvensi Den Haag 1907, maka warga sipil Palestina di bawah pendudukan Israel termasuk dalam kelompok “individu yang dilindungi” oleh Konvensi Jenewa. Lebih lanjut, Konvensi Jenewa menegaskan kembali tentang orang-orang yang dilindungi dalam Pasal 53: “Segala bentuk perusakan terhadap properti pribadi atau properti kolektif […] dilarang, kecuali penghancuran tersebut benar-benar diperlukan guna kepentingan operasi militer.” Peringatan macam itu biasanya berlaku untuk kasus-kasus ketika, misalnya, kelompok perlawanan bersenjata menggunakan rumah milik individu yang dilindungi untuk menembaki pasukan pendudukan. Tapi ini jelas kasus yang berbeda dengan yang terjadi saat ini, karena si pelaku melancarkan serangannya di tempat lain.


    Israel meratifikasi Konvensi Jenewa Keempat. Tetapi pemerintah Israel selalu mengklaim bahwa mereka yang tinggal di wilayah Palestina tidak termasuk dalam objek yang dilindungi oleh konvensi tersebut karena status teritorinya dipersengketakan. Argumentasi lainnya yang dikemukakan oleh pemerintah Israel untuk membela diri adalah bahwa mereka hanya menghancurkan property individu yang terlibat dalam terorisme, sehingga tujuannya adalah pencegahan (deterrence), bukan hukuman. Namun sejak tahun 1968, Theodor Meron, penasihat hukum Kementerian Luar Negeri Israel, memperingatkan bahwa menurutnya, penghancuran rumah tersangka teror di wilayah pendudukan bertentangan dengan Konvensi Jenewa. Dalam dokumen yang bersifat rahasia, Meron menolak interpretasi hukum internasional yang “sempit dan literal” tentang penghancuran rumah.


    PBB telah lama mengutuk penghancuran rumah warga Palestina. Pelapor Khusus PBB, Michael Lynk, berulang kali menekankan bahwa hukuman kolektif melanggar aturan hukum internasional. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu malah menampik kecaman PBB tersebut dan mengklaim bahwa badan internasional itu telah bersikap bias dan “anti-Israel”. Bagaimanapun juga, PBB tidak berada dalam posisi yang kuat untuk mengambil tindakan. PBB tidak memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari negara sehingga PBB tidak bisa begitu saja masuk ke wilayah konflik. Dewan Keamanan PBB adalah satu-satunya badan internasional yang dapat mengambil tindakan efektif untuk mengecam dan koersif terhadap negara-negara anggota. Tetapi Amerika Serikat kerap mengeluarkan veto resolusi-resolusi yang mengkritisi sekutunya, termasuk Israel. Amerika Serikat juga tidak mungkin menekan Israel untuk mengakhiri praktik penghancuran rumah yang menjadi kebijakannya ini. Pada 2021, Mahkamah Pidana Internasional memutuskan bahwa pihaknya memiliki dasar yurisdiksi atas apa yang terjadi di wilayah yang diduduki oleh Israel, tetapi penyelidikan apa pun kemungkinan besar akan terhambat oleh sikap tidak kooperatif pemerintah Israel yang kerap menolak untuk mengakui otoritas pengadilan. Akibatnya, meskipun penghancuran rumah bertentangan dengan isi dan semangat Konvensi Jenewa, sangat sedikit yang dapat mencegah pemerintah Israel untuk melakukan hal tersebut.


Menurut Prof. Dr. Adji Samekto, S.H., M.Hum. dalam  webinar bertajuk “Menelisik Historia Konflik Palestina-Israel dan Dukungan Umat Muslim dalam Penyelesaiannya”, dari peristiwa genosida di Palestina kita disuguhi realita bahwa hukum internasional tidak bisa dilepaskan dari politik internasional. Hal itu sama seperti kita tidak dapat berbicara hukum dengan kacamata kuda karena ketika kita berbicara hukum bahwa hukum adalah dokumen antropologis tentang peradaban, ketika berbicara hukum maka berbicara juga dinamika sosial dan tatanan sosial. Persoalan ini menjadi rumit karena kalau dilihat secara politik internasional ada perbedaan persepsi perdamaian. Dalam konteks konflik ini, ada perbedaan persepsi perdamaian. Dalam pandangan Palestina dan negara-negara Arab, wilayah Timur Tengah mungkin akan damai kalau tidak ada Israel. Tetapi sebaliknya, dalam pandangan Israel wilayah Timur Tengah akan damai kalau tidak ada Palestina, terutama Hamas. Perbedaan persepsi perdamaian itulah yang sampai saat ini belum bisa ditemukan titik penyelesaiannya.


“Untuk bisa menemukannya diperlukan adanya kompromi dari kedua pihak, baru ada titik terang perdamaian, jadi upaya atau resep untuk mendamaikan adalah mempertemukan dahulu kemudian mempertanyakan kepada mereka konsep perdamaian kepada mereka bagaimana?” jelas Prof. Adji dalam webinar tersebut.


Penulis: Ria Rindika

Editor: Agistya Dwinanda

Sumber gambar: uinsgd.ac.id