img-post

gemakeadilan.com - Era globalisasi yang berkembang saat ini di mana komunikasi lebih sering dilakukan melalui bantuan teknologi dan media sosial telah canggih menjadikan kita manusia sebagai makhluk sosial lebih menjadi terisolasi, individualis, inklusif dan menyendiri. Belum lagi pada awal 2020, adanya Covid-19 membuat kita semakin berjarak sehingga memunculkan fenomena hidup menyendiri. Fenomena perilaku hidup sendirian ini dibahas lengkap dan jelas dalam Buku Honjok: Seni Hidup Sendiri yang ditulis oleh Crystal Tai dan Francie Healey yang tersedia dalam bahasa Indonesia dengan tebal 188 halaman yang diterbitkan pada 30 Juli 2020 oleh Gramedia Pustaka Utama.


Pada tahun 2017, istilah “honjok” (diucapkan hon-juk) muncul sebagai kata kunci yang menentang budaya yang lazim di Korea Selatan (Korsel), ketika sekelompok besar anak muda Korsel mulai menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan diri dan kegiatan mereka. Istilah “honjok” berasal dari kata “hon” kependekan dari “honja” yang artinya sendirian; “jok” artinya suku. Oleh karena itu “honjok” berarti “suku penyendiri”. Jadi, siapa sih yang disebut sebagai suku penyendiri di Korsel ini? Dan bagaimana prinsip hidup sendiri ini mulai muncul?

Gaya hidup honjok muncul pada suatu masa ketika banyak anak muda Korsel yang merasa frustasi. Dewasa ini, sebagian besar anak muda Korsel menghabiskan masa remaja dan dewasa untuk belajar dan berupaya memperoleh pendidikan tinggi untuk memperbesar peluang mendapatkan pekerjaan di sana. Namun, setelah bertahun-tahun bersaing dalam perekonomian yang lesu serta kurangnya kesempatan kerja dan mobilitas sosial membuat para anak muda di Korsel putus asa dalam menghadapi masa depan sehingga banyak yang merasa tidak punya pilihan lain selain memilih gaya hidup honjok ini. Faktor lain yang mempengaruhi budaya honjok adalah kebangkitan individualisme dan feminisme di Korsel, khususnya gerakan #NoMarriage yang dilakukan wanita Korsel. Banyak wanita yang memilih tetap melajang untuk mempertahankan kebebasan dan pengaturan diri karena dalam masyarakat konservatif sering dipandang bahwa sudah kodratnya bagi wanita untuk menjadi ibu dan mengurus pekerjaan rumah tangga saja. Feminisme tersebut juga erat kaitannya dengan penurunan populasi di Korsel karena para wanita lajang maupun yang telah menikah memutuskan untuk tidak memiliki anak.


Budaya honjok ini tak hanya muncul di Korsel saja. Dengan istilah yang berbeda, gerakan ini menjadi fenomena yang berkembang terutama di negara maju, contohnya di Jepang. Meskipun tidak sepopuler honjok, istilah ohitorisama (sendirian) muncul karena berkembangnya kegiatan yang dilakukan sendirian, seperti makan di luar sendirian, karaoke, dan berwisata sendirian di luar rumah. Hal yang membedakan honjok dengan ohitorisama adalah bahwa budaya ini tidak hanya untuk para lajang atau orang yang hidup sendiri saja, melainkan juga orang yang telah menjalin hubungan asmara dan tinggal serumah dengan keluarga juga mempraktekkan gaya hidup ini sebagai cara mengembalikan gairah hidup. 


Honjok mengajak kita untuk merenungkan dan memikirkan kembali mengenai identitas diri kita di luar norma dan budaya yang telah mendarah daging serta merenungkan indahnya kesendirian dan kepuasan tak terhingga yang berasal dari upaya kita memperhatikan kehidupan batin diri sendiri. Kebebasan yang tercipta dari kesendirian dapat membantu kita dalam lebih memahami keinginan dan kebutuhan diri kita sendiri. Melalui kesendirian ini, diharapkan kita akan merasakan perasaan damai karena memahami sepenuhnya siapa diri kita sebenarnya. Gaya hidup ini dapat menjadi alat perbaikan yang berguna untuk membuat kita bisa tumbuh dan berkembang, jujur dengan diri sendiri, bebas dalam mengambil keputusan, serta menanggapi segala sesuatu dalam hidup dengan cermat.


Selama ini, istilah “penyendiri” selalu dikonotasikan negatif dan menyedihkan. Label penyendiri menggambarkan orang yang antisosial dan kesepian. Penyendiri dianggap orang buangan dan hidup di pinggiran masyarakat. Menjadi penyendiri sering dianggap aneh dan menyimpang. Namun, label tersebut sangat berkebalikan dengan gaya hidup positif yang dianut kaum penyendiri yang memilih honjok. Gaya hidup menyendiri ini telah terbukti meningkatkan daya kreatif dan inovatif pikiran manusia, seperti yang dikatakan Picasso: “Tanpa kesendirian yang ketat, tidak ada pekerjaan serius yang dapat diselesaikan.” 


Penyendiri juga tidaklah sama dengan kesepian. Kesepian itu semacam kepahitan sosial, kebutuhan yang tidak terpenuhi, perasaan cemas, dan kurangnya hubungan. Kesepian tidak hanya dirasakan saat seseorang sendirian tetapi masih bisa dirasakan saat kita dikelilingi oleh banyak orang sekalipun. Selain itu, sendirian dapat memunculkan manfaat kesehatan yang positif, tetapi penelitian membuktikan bahwa kesepian berdampak buruk bagi kesehatan, bahkan lebih berbahaya dari merokok dan penyakit obesitas. Kesepian dapat menimbulkan rasa cemas kemudian depresi hingga kecenderungan untuk bunuh diri.


Hubungan yang abadi dan selalu terjalin dalam hidup adalah hubungan dengan diri sendiri. Maka dari itu wajar jika kita perlu mengenal dan memahami siapa diri kita sebaik mungkin. Lantas bagaimana kita bisa menikmati waktu sendiri tanpa harus merasa kesepian? Kita bisa membuat ritual perawatan diri, seperti meminum secangkir teh pada pagi hari ditemani kicauan burung di tempat duduk ternyaman sebagai kebiasaan, merenung sendirian, menulis dalam buku harian, meditasi, berjalan-jalan di alam terbuka, ataupun makan di luar sendirian secara sadar dan menikmatinya. 


Pada akhirnya, dibutuhkan keberanian untuk menyendiri. Menjadi bagian dari diri sendiri berarti dapat menemukan keunikan diri sejati kita. Gaya hidup honjok punya potensi menjadikan waktu kesendirian kita lebih tenang, sejahtera dan layak dinikmati. Ketahuilah apa yang dapat memicu kita untuk bahagia, yang membuat kita merasa bebas untuk menjadi diri sendiri dan benar-benar dilihat sebagai diri kita sendiri—sebagai seorang individu.




Penulis: Ika Putri Prasetyaningsih

Editor: Agistya Dwinanda

Sumber gambar: Shopee.id