img-post

gemakeadilan.com – Aliansi Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) Jawa Tengah yang mencakup mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil kembali menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada Selasa (20/9) lalu. Aksi ini diikuti oleh 80 sampai 100 orang dari berbagai lembaga dan Organisasi Kemahasiswaan yang mengatasnamakan GERAM Jateng. Aksi digelar dengan empat poin tututan, yakni tolak kenaikan BBM, berantas mafia migas dan tambang, tunda pengesahan RKUHP dan revisi pasal-pasal bermasalah, serta tuntaskan kasus pelanggaran HAM. Aksi dimulai sekitar pukul 13.00 WIB dan berakhir pada pukul 16.00 WIB.

 

Adanya seruan untuk bergabung dalam aksi ini turut mengundang para mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) untuk turun ke lapangan. Rencana mahasiswa Undip menyelenggarakan aksi diawali dengan berkumpul di Stadion Undip sebagai titik kumpul pada pukul 13.30 WIB. Perwakilan Koordinator Lapangan dari Undip adalah Benjamin, mahasiswa Sekolah Vokasi.

 

Mahasiswa Undip berangkat dan bernyanyi dari Pleburan sampai Kantor Gubernur Jawa Tengah, kemudian memulai mimbar bebas di sana. Selain itu, terdapat peserta aksi yang melakukan orasi dan pembacaan puisi. Puncak dari aksi adalah saat ban mulai dibakar sebagai simbol dari kemarahan rakyat untuk pemerintah. Semula mahasiswa Undip berencana ingin mengemukakan aspirasi mereka di depan Kantor DPRD. Namun, aparat keamanan tidak memberikan akses kepada peserta aksi untuk masuk ke halaman gedung. Peserta aksi pun merapatkan barisan dan mencoba untuk melakukan negoisasi dengan pihak kepolisian agar diperbolehkan untuk masuk.

 

Benjamin, dalam wawancara yang dilaksanakan pada Rabu (21/9) memandang bahwa sebenarnya para aparat keamanan paham akan tuntutan-tuntutan yang dibawa oleh massa. Akan tetapi, aparat tetap bersikukuh untuk tidak membiarkan para peserta aksi untuk masuk, melainkan menyediakan kawat berduri hingga membawa anjing K-9. “Sampai membawa anjing K-9 (untuk mengawal aksi – red.), apakah sebegitu mengganggunya unjuk rasa di Semarang ini. Mungkin aparat hanya menjalankan tugas yang padahal seharusnya mereka malu dengan tugas yang dijalankannya,” ujar Benjamin.

 

Berdasarkan keterangan dari narasumber, rangkaian acara pada aksi ini cukup singkat sebab hanya berlangsung sekitar 2-3 jam saja. Menjelang akhir aksi, peserta membuat banner di depan Kantor Gubernur bertuliskan Gedung Ini Disita Rakyat bersamaan dengan perwakilan tiap lembaga membacakan release. Di penghujung aksi, peserta aksi bernyanyi bersama, menandakan kegiatan aksi telah berakhir.

 

Benjamin mengatakan bahwa selama kegiatan berlangsung, kondisi aksi dapat dibilang cukup kondusif, meskipun ada beberapa peristiwa di mana polisi melakukan provokasi dengan mendatangi dan membentak salah satu rekannya. Untungnya, tidak ada satupun dari mahasiswa Univeritas Diponegoro yang terprovokasi karena tindakan tersebut. “Ya menurut saya aksinya kurang tepat sasaran karena polisi tidak memberikan akses untuk masuk ke Kantor DPRD. Dan yang paling saya kecewakan ada polisi yang emang secara jelas sengaja memprovokasi massa aksi sampai membentaknya,” ungkap Benjamin.

 

Terakhir, Benjamin menegaskan bahwa upaya demonstrasi yang akan diselenggarakan masih jauh dari selesai. Ia berharap dalam aksi-aksi selanjutnya, polisi dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik lagi dalam mengamankan aksi tanpa memprovokasi massa. “Aksi 20 September lalu bukanlah aksi terakhir, itu adalah aksi loncatan untuk aksi-aksi selanjutnya. Kami akan terus ada dan berlipat ganda, sampai kebenaran dikumandangkan. Harapan kedepan dari aksi ini, polisi lebih kooperatif dengan massa aksi. Polisi harus bisa mengayomi bukan malah melarang larang massa aksi untuk masuk dan membentak-bentak mahasiswa,” tutupnya.

 

Reporter: Nilam Helga

Penulis: Carissa Maharani

Editor: Vanya Jasmine

Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi Reporter