Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu
kepada api
Yang menjadikannya tiada
gemakeadilan.com – Begitulah bait awal dari puisi “Aku Ingin” buah karya Sapardi yang dilantunkan oleh Ari Malibu dan Reda Gaudiamo. Musikalisasi dari puisi ini memiliki pojok teduh di hati setiap orang yang mendengarkannya. Tak disangka, kisah perjalanan kedua musisi berbakat tersebut memiliki latar belakang yang dapat terbilang sederhana.
Awal pertemuan mereka
bermula pada saat Reda berkuliah semester 3 di
Universitas Indonesia (UI). Reda Gaudiamo yang pada saat itu merupakan mahasiwa
jurusan Sastra Prancis bertemu dengan Ari Malibu pada Oktober 1982 di panggung seni acara dies natalis fakultasnya Reda. Lagu John
Denver yaitu Fly Away dan How Can I Leave You Again merupakan
cikal bakal group duo ini. Ari sebenarnya bukan merupakan mahasiswa UI, tapi kemampuannya bermain gitar dan berbaur membuatnya mudah
akrab dengan anak-anak FISIP UI yang
kemudian menjodohkan mereka dalam satu panggung bersama.
Barulah pada permulaan tahun 1988 dalam proyek Bulan Apresiasi Sastra yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mereka mengenal puisi-puisi penyair kenamaan Indonesia. Dalam proyek ini, puisi-puisi dimusikalisasikan untuk kemudian disebar ke sekolah-sekolah sebagai bentuk upaya apresiasi. Ari dan Reda mendapat jatah lagu Aku Ingin buah karya Sapardi Djoko Darmono yang sudah dinadakan oleh Arya Dipayana.
Banyak kesan yang bisa diutarakan dan tak kunjung habis jika kita membahas pasangan duet ini. Topik dari tulisan kali ini akan terfokus pada sebuah lagu yang mereka lahirkan bersama berjudul Aku Ingin. Sepertinya cukup sulit untuk menjelaskan bagaimana ajaibnya lagu ini jikalau belum pernah mendengarkannya sendiri, untuk itu saya menganjurkan untuk membuka Youtube atau platform musik kegemaran anda sekarang dan dengarkan dengan seksama.
Saya sangat percaya
bawa segelintir orang diberkahi anugrah oleh Tuhan
untuk membuat orang lain berbahagia. Hal inilah yang saya rasakan saat
mendengar lagu ini pada pengalaman pertama. Menurut
pendapat saya, Ari dan
Reda berhasil membawa kebahagiaan pada setiap karya dan penampilan mereka.
Kekaguman saya tumbuh begitu saja saat berfikir bagaimana sebuah lagu dengan
lirik yang sederhana bisa begitu melekatnya tidak hanya pada pikiran saya, namun lebih jauh melekat pada hati
dengan perasaan yang
sulit didefinisikan. Saya menganggap bahwa
bait-bait puisi ini memiliki suatu nilai abstraksinya tersendiri. Interpretasi
liar yang direncanakan Sapardi dalam menulis bait ini sungguh sudah sangat
terwujud. Sebagai contoh, kalimat
kayu kepada api yang menjadikannya tiada. Tentu
setiap orang akan memberikan
pemaknaan yang berbeda bukan? Hal-hal seperti inilah yang membuat kata-kata
dalam musikalisasi ini seperti menjadi hak milik masing-masing pendengarnya.
Kalau anda bertanya-tanya dan mencoba mencari tahu apakah dalam musikalisasi ini, puisi Sapardi yang membuat karya ini hidup atau sumbangan nada yang diberikan Ari Reda membuat karya ini bernafas, sungguh tak akan ada hasilnya. Kedua elemen ini seakan bergumul dalam kemesraan simfoni yang magis. Kata dan nada yang dilantunkan saling mengisi dan memberikan perwujudan yang proporsional, tidak ada yang lebih menonjol satu dengan lainnya. Baik Sapardi dan Ari Reda menolak bahwa masing-masing lebih berperan dalam karya ini. “Puisi sekali jadi yang dibuat singkat waktu dan hanya mampu dimuat di sebuah pojok koran tidak terkenal, seandainya tidak dibuat lagu dan dinyanyikan Reda. Siapa yang mau baca?” ujar Sapardi.
Saya cukup setuju dengan pernyataan mbah Sapardi ini. Tidak mudah rasanya mengolah lirik sederhana menjadi sebuah untaian nada yang tidak hanya dapat didengar oleh telinga namun menelusuk ke dalam hati. Ari, Reda dan puisi adalah dua hal melekat dan tidak terpisahkan. Penghayatan pada setiap kata-kata tercermin dalam penyampaian nada dan suara, membuat musikalisasi ini tidak hanya apik namun hidup. Hal ini membuat sekan-akan bait puisi tersebut membimbing Ari dan Reda dalam membuat lagu tersebut dan memilah mana yang terbaik untuk dapat mengiringinya, selayaknya sebuah egoisme.
Berbicara tentang
interpretasi atau pemaknaan puisi ini, Sapardi mengungkapkan bahwa lirik kayu
kepada api dapat diibaratkan sebagai cinta, yakni cinta yang tak sempat
disampaikan dan terlanjur menjadi abu. Memahami bahwa abu dalam makna ini bukan
berarti menghilang, namun berubah wujud lain menjadi suatu entitas berbeda yang
tidak dapat diperkirakan atau dibayangkan. Cinta dengan segala kejutannya. Sedangkan Joko Pinurbo punya interpretasi yang berbeda terhadap puisi ini. “Mencintai dengan
sederhana adalah mencintai
paling tidak sederhana, mustahil apa yang disampaikan Mas Sapardi itu,”
guraunya. Ia berpendapat bahwa
mencintai dengan sederhana bukanlah
suatu hal yang sederhana, karena sebuah kesederhanaan justru menjadi sebuah
kompleksitas yang sulit diraba apabila
perwujudan dari kesederhaan sendiri itu
tidak konkret. Mendefinisikan arti dari angka dua (2), jauh lebih sulit
daripada menjelaskan berapa penjumlahan 2+2 bukan? “Kata-kata memang memiliki
sihirnya tersendiri,” ujar
Reda.
Penulis:
Atmakeno Daniswara
Editor:
Vanya Jasmine
Sumber gambar:
tirto.id